KUPANG, IndonesiaSurya.Com - Komunitas Penjaga Budaya Helong telah menggelar Festival Budaya Helong III di Kolhua, Kecamatan Maulafa, Kota Kupang, NTT pada 01-02 Juni 2023.
Festival Budaya Helong digelar dengan tujuan melestarikan budaya Helong agar tidak punah. Sebab, ada kekhawatiran masyarakat suku Helong sebagai komunitas pertama yang menduduki Kota Kupang bahwa budaya Helong akan punah akibat arus urbanisasi di Kota Kupang.
Menariknya dalam festival itu, pengunjung dapat menyaksikan perempuan adat memainkan peran vital dalam merawat alam, melestarikan kearifan lokal dan tradisi leluhur, meskipun perempuan sering tidak mendapat tempat dalam budaya patriarki.
Peran perempuan yang dimaksud, sebagainnya dapat dilihatkan melalui stand pameran tenun, anyaman, obat tradisional dan pangan lokal.
Selain itu, dapat diketahui melalui salah satu kegiatan di dalam Festival Budaya Helong yaitu, Panggung Perempuan yang diinisiasi oleh Solidaritas Perempuan Flobamoratas (SPF) bersama Perempuan Akar Rumput di Kolhua.
Panggung Perempuan menjadi ruang bagi tokoh perempuan Suku Helong, Kolhua yang merupakan inisiator praktik-praktik baik di Kolhua yang merupakan contoh konkrit bagaimana perempuan memiliki peran fundamental dalam merawat kearifan lokal untuk kehidupan yang berkelanjutan.
Panggung Perempuan ini dipandu oleh Irene Kanalasari dari Solidaritas Perempuan Flobamoratas dengan menghadirkan Atalya Taklale sebagai perempuan penenun sekaligus guru tenun bagi anak-anak perempuan di Kolhua, Lily Bistolen sebagai penggagas sekaligus pengajar Taman Baca Uibaha dan Melyawati Bistolen sebagai petani perempuan muda sekaligus Ketua Panitia Festival Budaya Helong III.
Hadir pula Pdt. Emmy Sahertian dari Komunitas Hanaf dan Linda Tagie dari Solidaritas Perempuan Flobamoratas sebagai penanggap.
Di Panggung Perempuan ini, Atalya Taklale menceritakan pengalamannya sebagai Ibu Tunggal dari tiga orang anak. Ia mulai menekuni tradisi menenun dalam sepuluh tahun terakhir.
“Awalnya sebagai rasa cinta terhadap budaya karena sadar bahwa tradisi ini hampir punah karena tidak ada lagi yang mau menenun, sangat sedikit orang muda yang mau menenun jadi beta mau membagikan ilmu menenun kepada generasi muda suku Helong,” ungkap Atalya.
Tujuan Atalya, agar budaya tidak putus pada generasinya. Sebaliknya, dapat diwarisi kepada generasi selanjutnya.
“Ternyata rasa cinta terhadap budaya juga ternyata membantu beta sebagai ibu tunggal untuk berdaya secara ekonomi, anak-anak bisa sekolah itu karena beta menenun,” ujarnya.
Sampai saat ini, Atalya masih menenun menggunakan pewarna alam dengan memanfaatkan sumber daya dari alam Kolhua.
Misalnya Atalya memanfaatkan tumbuhan pewarna dari hutan Kolhua sebagai pewarna tenunan dan lumpur dari sungai dan mata-mata air yang ada di Kolhua sebagai perekat warna.
Untuk itu, bagi Atalya dan perempuan-perempuan penenun di Kolhua, alam merupakan sumber penghidupan perempuan, mulai dari pangan hingga sandang.
Di Panggung Perempuan, Lyli Bistolen juga bercerita tentang inisiatif pertama terbentuknya Taman Baca Uibaha.
Menurut Lyli, inisiatif ini muncul karena ada beban moril sebagai anak muda dan perempuan suku Helong di Kolhua yang mendapat kesempatan belajar ke Jakarta. Ia merasa penting untuk menciptakan ruang belajar bagi anak-anak suku Helong yang berdomisili di Kolhua.
Taman Baca Uibaha bukan hanya sekedar tempat membaca atau meminjam buku, namun juga membuka kelas Bahasa Helong bagi anak-anak. Selain itu, anak-anak juga belajar tuturan adat dan tarian adat.
Ketua panitia Festival Budaya Helong, Melyawati Bistolen menyampaikan bahwa Festival ini bertujuan untuk melestarikan dan memperkenalkan budaya Helong kepada masyarakat luas sekaligus menjadi ruang transfer pengetahuan antar generasi mengenai budaya Helong.
Tahun ini merupakan tahun ketiga terselenggaranya Festival ini. Para orang tua, orang muda, perempuan, dan anak-anak berkumpul bersama untuk merayakan Festival ini.
Inisiatif untuk menyelenggarakan Festival ini berasal dari anak-anak muda suku Helong yang tergabung di dalam Komunitas Penjaga Budaya Helong.
“Ini dilakukan sebagai rasa cinta dan rasa bangga kami sebagai orang Helong, kami ingin ‘menolak punah’ dan supaya generasi-generasi suku Helong yang akan datang juga tahu budaya Helong,” ungkap Melyawati.
Cerita-cerita baik Perempuan Helong ini kemudian ditanggapi oleh Linda Tagie dan Pdt Emmy Sahertian.
Pdt. Emmy Sahertian mengatakan, “menenun bukan hal yang gampang; membaca alam, mengamatinya dengan saksama, meramu warna, dan meneruskannya kepada anak-anak. Perempuan ibarat seorang profesor yang menulis sebuah buku dan menjadi pengajar, dari situ literasi bermula”.
Sementara Linda Tagie, Ketua Badan Eksekutif Komunitas Solidaritas Perempuan mengatakan, tubuh perempuan adalah medan pertempuran. Perempuan bertempur di hadapan konstruksi sosial-budaya, tuntutan ekonomi, politik patriarki, dan produk-produk kolonialisme.
“Tiga tokoh perempuan Kolhua yang dihadirkan di Panggung Perempuan merupakan contoh konkrit dari resiliensi dan ketahanan perempuan di tengah gempuran kolonialisme, geopolitik, dan semakin masifnya konsesi agraria dan pembangunan yang menghancurkan ruang-ruang hidup perempuan,” ujar Linda.
Lanjutnya, eksistensi, resiliensi, dan kontribusi perempuan terejawantah dalam praktik-praktik baik berbasis kearifan lokal yang dilakukan oleh para perempuan adat dan perempuan suku asli di seluruh Nusantara, termasuk perempuan suku Helong di Kolhua.