Indonesiasurya.com, Kupang - Menjadi mahasiswa sering dianggap sebagai masa yang penuh semangat dan kebebasan. Namun, di balik kehidupan kampus yang terlihat menyenangkan, ada banyak mahasiswa yang harus berjuang keras untuk bisa tetap kuliah.
Salah satu gambaran nyata dari perjuangan itu bisa kita lihat pada mahasiswa yang bekerja sebagai pengemudi Maxim di Kota Kupang.
Mereka adalah sosok-sosok yang berjuang di dua dunia sekaligus: dunia pendidikan dan dunia kerja.
Di Kota Kupang, banyak mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi seperti Undana, UKAW, Unwira, dan kampus lainnya yang memilih menjadi driver Maxim untuk menambah penghasilan.
Setelah mengikuti perkuliahan di pagi atau siang hari, mereka berganti jaket dan helm, lalu turun ke jalan mencari penumpang atau mengantar pesanan.
Kehidupan mereka diwarnai dengan jadwal padat, panas terik, bahkan hujan yang tidak menentu, namun semangat mereka untuk tetap bertahan dan menyelesaikan kuliah tidak pernah padam.
Alasan utama mereka bekerja sebagai pengemudi Maxim tentu karena kebutuhan ekonomi. Biaya kuliah, kos, makan, dan keperluan sehari-hari di Kota Kupang terus meningkat. Tidak semua mahasiswa memiliki keluarga dengan kemampuan ekonomi yang kuat. Ada yang menanggung biaya sendiri, ada pula yang membantu keluarga di kampung.
Bekerja sebagai driver Maxim menjadi pilihan yang realistis karena jam kerjanya fleksibel dan bisa disesuaikan dengan jadwal kuliah.
Namun, di balik pilihan itu, ada banyak tantangan yang mereka hadapi. Waktu belajar sering terganggu karena harus bekerja hingga malam hari. Kadang, rasa lelah membuat mereka sulit fokus di kelas. Ada pula risiko di jalan seperti macet, hujan, bahkan bahaya kecelakaan.
Selain itu, sebagian masyarakat masih memandang sebelah mata pekerjaan sebagai pengemudi ojek online. Padahal, tidak ada yang salah dengan bekerja keras demi masa depan yang lebih baik. Justru pekerjaan itu menunjukkan kemandirian dan tanggung jawab seorang mahasiswa.
Mahasiswa Maxim di Kupang adalah contoh nyata generasi muda yang tidak menyerah pada keadaan. Mereka berani keluar dari zona nyaman dan berjuang dengan cara mereka sendiri. Di tengah panasnya jalan El Tari, Bundaran PU, atau jalur ke Oebobo dan Penfui, mereka tetap membawa semangat untuk menuntut ilmu dan mengejar cita-cita.
Mereka membuktikan bahwa kemiskinan atau keterbatasan ekonomi bukan alasan untuk berhenti bermimpi.
Pihak kampus dan masyarakat seharusnya memberi apresiasi dan dukungan kepada mahasiswa seperti mereka. Kampus bisa lebih memahami kondisi mahasiswa pekerja dengan memberikan fleksibilitas jadwal atau kebijakan yang lebih manusiawi.
Sementara masyarakat perlu mengubah cara pandang bahwa bekerja sambil kuliah bukanlah hal yang memalukan, melainkan bentuk nyata dari kemandirian dan kerja keras.
Pada akhirnya, mahasiswa Maxim di Kota Kupang mengajarkan kita arti sebenarnya dari perjuangan. Mereka bukan hanya berjuang melawan lelah dan panasnya jalanan, tetapi juga melawan keadaan agar tetap bisa berpendidikan.
Di balik helm dan jaket hijau-kuning yang mereka kenakan, tersimpan semangat besar dan harapan untuk masa depan yang lebih baik. Perjuangan mereka mungkin terlihat sederhana, tetapi maknanya begitu dalam.
Mereka adalah bukti bahwa cita-cita tinggi bisa tetap dikejar, bahkan dari atas motor di jalanan Kota Kupang.