NUSANTARA dikenal kebergaman adat dan suku tapi secara mayoritas mengajarkan filosofi toleransi dan persaudaraan yang satu.
Mengedepankan harmonisasi adalah cara pikir tetuah dulu untuk ditelurkan kegenerasinya.
Di Kabupaten Banggai, terdapat salah satu desa yang membawa filosofi persaudaraan dan kemudian diinterpretasikan dalam penamaan kampung mereka sendiri.
Desa itu adalah Honbola, yang secara administratif terletak di Kecamatan Batui, atau sekitar 3 kilometer dari ibu kota kecamatan.
Yustus K (67) anak dari kepala kampung tertua Y Kulle mengatakan, nama ‘Honbola’ sesungguhnya memiliki arti daun lebar, yang secara harafiah berarti wadah kebersamaan dalam merengkuh tali silaturahmi persaudaraan.
“Ibarat daun, kampung ini (honbola) memiliki makna mengikat nilai persaudaran dalam tempat (wadah) yang sama,” ucap dia mengutip titah pendahulunya.
Tak ada perbedaan kasta, tak ada pendatang semua bisa bersatu dikampung halaman orang (mian) Honbola itu sendiri.
“Tutur (filosofi) Honbola ini sudah ada sejak kami tinggal di perkampungan tua yang ada dipegunungan dusun Seseba, hingga kemudian berpindah di sini dekat pantai,” ucapnya.
Era pemerintahan Badarusallam sekitar 1950, manakala dirinya menjabat selaku kepala distrik (sebutan kepala kecamatan) pertama. Ia mengajak seluruh warga Honbola untuk bermukim di wilayah distrik (desa Honbola saat ini).
Badarusallam yang juga merangkap sebagai Bosanyo (pemimpin adat) sudah mempertimbangkan kehidupan mereka jika jauh dari pelayanan pemerintah serta jangkauan akses pendidikan dan kesehatan.
“Atas perhatian itu, akhirnya orang tua saya dan tetua lainnya sepakat untuk pindah kesini,” ucap Yustus. “Tapi demikian kami tetap berkebun di seseba,” imbuhnya.
Dari kebijakan Bosanyo Badarusallam itu, akhirnya mereka dapat menjangkau sekolah dan mengenyam pendidikan.
Lanjutnya, pada masa perpindahan itulah makna filosofi Honbola (daun lebar) dijewantahkan sebenar-benarnya, pergaulan dan pembauran dalam masyarakat sangat terasa.
Saling berbagi juga menjadi budaya tersendiri bagi pendahulunya, saat musim panen padi baru, mereka kerap berbagi dengan warga lainnya. Sebaliknya mereka biasa membawa ikan sekembalinya dari Batui.
“Jadi pemaknaan Honbola sangat kami rasakan. Kami tidak terkotak-kotak karena kepercayaan atau suku, kami semua merasa bersaudara,” tutup lelaki generasi 60-an itu.