INDONESIASURYA COM - Sebagai seorang pemerhati pendidikan dan pelaku langsung dalam dunia pembelajaran, saya tergerak menuliskan refleksi ini setelah mengalami sebuah peristiwa kecil namun menggugah batin. Pada hari kedua kegiatan Gebyar SMK dan Pameran Karya Siswa SMA/SLB se-Kabupaten Lembata (2–4 Mei 2025), saya sempat berbincang singkat dengan sepasang suami-istri yang kebetulan melintas di sekitar area eks Kantor Bupati Lembata, tempat kegiatan ini berlangsung. Mereka kaget bukan kepalang saat mengetahui bahwa sedang berlangsung pameran karya siswa. “Kami baru tahu ada pameran di sini... kalau tidak lewat jalan ini, mungkin tidak tahu sama sekali,” ungkap mereka polos.
Komentar sederhana ini menyentak kesadaran saya. Bagaimana mungkin sebuah kegiatan pendidikan sebesar ini—yang semestinya menjadi ajang apresiasi dan partisipasi publik—justru luput dari perhatian masyarakat, bahkan tidak terkomunikasikan secara baik? Mengapa produk-produk kreatif siswa yang berbasis potensi lokal hanya ditonton dan diapresiasi oleh segelintir orang?
Ironi di Balik Sepinya Pameran Karya Siswa Lembata
Pameran karya siswa merupakan wujud konkret dari pembelajaran yang berorientasi pada pengembangan karakter, keterampilan, dan kecintaan terhadap budaya lokal. SMA, SMK, dan SLB di Lembata telah menunjukkan komitmen luar biasa dengan menghadirkan produk-produk inovatif seperti olahan pangan lokal, teknologi tepat guna sederhana, kriya khas daerah, hingga dokumentasi praktik kerja industri. Semua ini adalah hasil dari proses panjang pendidikan yang tidak hanya mendidik otak, tetapi juga membentuk jiwa dan keterampilan hidup.
Namun betapa memilukan ketika karya-karya ini seolah ditelantarkan dalam sunyi. Lapak-lapak pameran berdiri megah namun kosong pengunjung. Tidak terlihat antusiasme dari masyarakat umum, bahkan pejabat daerah yang membawa slogan “taan tou” pun hanya tampak secara seremonial. “Berjalan bersama”, yang seharusnya menjadi jiwa kolektif kita, tak terasa hadir dalam dukungan nyata terhadap generasi muda yang sedang berjuang menunjukkan karya dan jati diri.
Fenomena ini menyimpan ironi yang dalam. Di satu sisi, pemerintah dan lembaga pendidikan sering menggaungkan pentingnya pendidikan berbasis potensi lokal dan kearifan budaya. Namun di sisi lain, ketika hasilnya tampil di hadapan publik, justru tidak ada perhatian yang memadai. Kegiatan ini terasa seperti “pamer sendiri, nikmati sendiri.” Anak-anak muda kita ditinggalkan dalam ruang pamer yang sunyi—ibarat janda yang jarang dibelai.
Apakah karena kurangnya publikasi dan koordinasi? Ataukah ini cerminan dari minimnya kepekaan sosial kita terhadap pendidikan? Apapun alasannya, fakta bahwa kegiatan sebesar ini berlangsung tanpa gaung berarti adalah kegagalan kolektif. Bukan hanya dari penyelenggara, tetapi juga dari kita semua sebagai komunitas.
Simpul dan Saran
Kegiatan Gebyar SMK dan Pameran Karya Siswa se-Kabupaten Lembata seharusnya menjadi perayaan bersama—sebuah panggung publik untuk menghargai jerih payah peserta didik, serta wadah untuk mempertemukan kreativitas anak muda dengan kepedulian masyarakat dan kebijakan pemerintah. Sepinya kunjungan dalam kegiatan ini adalah isyarat kuat bahwa “taan tou” belum benar-benar kita hayati dalam tindakan nyata.
Saya mengajak semua pihak—terutama pemerintah daerah, tokoh masyarakat, media lokal, dan institusi pendidikan—untuk mengevaluasi kembali strategi komunikasi, promosi, dan keterlibatan publik dalam kegiatan seperti ini. Pendidikan bukan urusan sekolah semata. Ia adalah tanggung jawab bersama, dan keberhasilan siswa adalah cermin keberhasilan kita sebagai satu komunitas.
Jika kita sungguh percaya bahwa Lembata memiliki masa depan cerah, maka kita harus mulai melangkah bersama, bukan hanya dalam slogan, tetapi dalam kesediaan untuk hadir, mendengar, menyaksikan, dan menghargai. Taan tou bukan sekadar kata-kata indah—ia adalah semangat yang harus dihidupi.
Lewoleba, 03/05/2025