INDONESIASURYA.COM - Diskusi Sharing GEN Z pada 30 November 2025 melalui Google Meet benar-benar membuka ruang refleksi mendalam tentang bagaimana teknologi telah membentuk cara kita hidup hari ini.
Tema tentang “Teknologi dan Gadget serta Pengaruhnya pada Kehidupan Sehari-hari” terasa sangat dekat dengan realitas generasi muda yang tumbuh bersama gawai di tangan. Bukan hanya sebagai alat komunikasi, tetapi sebagai pintu masuk ke dunia informasi, hiburan, pekerjaan, pendidikan, hingga pembentukan identitas diri.
Moderator, Naffrin, membuka diskusi dengan cara yang sederhana namun tepat sasaran: teknologi tidak bisa dipisahkan dari kehidupan kita, tetapi pemahaman kita tentang teknologi justru sering dangkal. Di sinilah peran diskusi seperti ini menjadi penting—sebagai ruang bersama untuk memahami apa yang sebenarnya kita hadapi.
Sebagai narasumber, Tamara Klau memberikan gambaran komprehensif mengenai bagaimana teknologi memengaruhi generasi muda dari berbagai sisi. Ia menegaskan bahwa perkembangan teknologi bukan sekadar tren, tetapi perubahan struktural yang memengaruhi cara kita bekerja, belajar, berinteraksi, dan memahami dunia. Namun, yang paling ia tekankan adalah literasi. Menurutnya, generasi muda hari ini mahir menggunakan gadget, tetapi literasinya belum tentu matang. Banyak yang tidak benar-benar memahami bagaimana data bergerak, bagaimana privasi bekerja, serta bagaimana risiko digital dapat merugikan diri sendiri ketika kita tidak berhati-hati.
Tamara juga menyentuh aspek hukum dalam penggunaan teknologi. Ia menjelaskan bahwa ketika seseorang menjadi korban pencurian data, penyalahgunaan identitas, atau kejahatan digital lainnya, persoalannya tidak berhenti di ranah teknis. Ada konsekuensi hukum yang mengatur, mulai dari pelanggaran privasi hingga tindak pidana siber. Tantangannya, banyak anak muda tidak memiliki pengetahuan dasar mengenai apa yang harus dilakukan ketika menghadapi masalah seperti itu. Pesan yang muncul jelas: teknologi menuntut kesiapan, bukan hanya keterampilan mengoperasikan perangkat.
Sesi tanya jawab kemudian memperkaya diskusi dengan perspektif yang lebih luas.
Yasinta memulai dengan pertanyaan terkait keamanan data pribadi, sebuah kekhawatiran yang sangat relevan. Banyak platform digital mengumpulkan data tanpa disadari pengguna. Kekhawatiran ini menunjukkan bahwa generasi muda mulai menyadari bahwa kenyamanan digital memiliki risiko yang nyata—data kita bisa disalahgunakan, diperjualbelikan, atau bahkan diretas oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
Selanjutnya, Ino Syukur membawa diskusi ke ranah psikologi, menyoroti bagaimana teknologi memengaruhi perilaku dan kesehatan mental generasi muda. Ia menekankan bahwa penggunaan gadget yang berlebihan bisa menurunkan fokus, memicu kecemasan, dan menciptakan tekanan sosial akibat perbandingan tanpa henti di media sosial. Perspektif psikologis ini penting karena selama ini banyak orang menganggap gadget hanya memengaruhi produktivitas, padahal dampaknya jauh lebih dalam.
Emilia menambah pandangan mengenai keamanan data, kali ini dari sudut perlindungan hukum. Ia menanyakan bagaimana bentuk tanggung jawab negara dan sejauh mana hukum melindungi individu ketika data pribadi bocor atau disalahgunakan. Pertanyaan ini mempertegas bahwa masyarakat membutuhkan edukasi hukum digital yang lebih terjangkau dan mudah dipahami. Tidak banyak orang tahu prosedur melapor, jenis bukti yang valid, atau bagaimana proses penanganan kejahatan digital berlangsung.
Dari sisi pendidikan, Rego melontarkan pertanyaan seputar penggunaan smartphone saat ujian di sekolah. Isu ini tampak sederhana, tetapi sebenarnya menyentuh problem integritas dan disiplin di tengah era digital. Gadget bisa menjadi alat belajar sekaligus sumber kecurangan. Diskusi ini menyoroti kebutuhan regulasi yang jelas di lingkungan sekolah agar teknologi mendukung proses belajar, bukan merusaknya.
Dari keseluruhan diskusi, tampak bahwa teknologi menghadirkan paradoks: ia membuka peluang luas, tetapi juga menghadirkan risiko besar jika tidak digunakan dengan bijak. Literasi digital, kesadaran hukum, pemahaman psikologis, dan kedisiplinan menjadi fondasi penting bagi generasi muda. Kita tidak bisa lagi memandang teknologi sebagai sesuatu yang netral. Ia membentuk cara kita berpikir, berkomunikasi, bahkan membangun relasi sosial.
Sharing GEN Z malam itu bukan sekadar sesi berbagi, tetapi proses belajar kolektif yang menunjukkan bahwa generasi muda membutuhkan ruang aman untuk bertanya, berdiskusi, dan memahami konteks teknologi yang terus berkembang. Perjalanan literasi digital bukan tujuan singkat, tetapi proses panjang yang harus ditempuh bersama.