Ungkap Realita Sosial

Logo Banggainesia
Local Edition | | Todays News


Antara Robot dan Manusia: Siapa yang Lebih Siap di Masa Depan Dunia Kerja?

YULIUS KUNIGUNDI SERAN ILMU KOMUNIKASI UNWIRA KUPANG SEMESTER 5

IndonesiaSurya
Minggu, 26 Oktober 2025 | 19:48:10 WIB
Ilustrasi

Di era digitalisasi yang semakin cepat, membahas tentang siapa yang lebih siap menghadapi masa depan dunia kerja—robot atau manusia—telah menjadi topik hangat di kalangan ahli ekonomi, pebisnis, dan masyarakat umum.

Robot, yang sering kali diwakili oleh kecerdasan buatan (AI), otomasi, dan mesin canggih, menjanjikan efisiensi tinggi, akurasi tanpa lelah, dan kemampuan untuk bekerja 24 jam.

Sementara itu, manusia membawa kreativitas, empati, dan transkripsi yang sulit ditiru oleh mesin. Namun, ketika kita melihat data lapangan dari daerah seperti Nusa Tenggara Timur (NTT), sebuah provinsi di Indonesia yang masih bergantung pada sektor agraris dan informal, pertanyaan ini menjadi lebih kompleks.

Apakah robot akan mendominasi, atau manusia yang akan beradaptasi dan tetap relevan?

Opini ini akan menganalisis kedua sisi, dengan fokus pada data lapangan NTT, untuk menyimpulkan bahwa manusia—meskipun rentan—lebih siap berkat kemampuan beradaptasi dan nilai-nilai sosialnya.

Data ini didasarkan pada laporan resmi dari Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian Ketenagakerjaan, dan studi lapangan terkini.

Gambar: ilustrasi robot vs manusia dalam dunia kerja.

Pertama, mari kita pahami konteks global. Laporan World Economic Forum (WEF) dalam “The Future of Jobs Report 2023” memperkirakan bahwa hingga tahun 2030, otomasi dan AI akan menggantikan 44 juta pekerjaan, tetapi juga menciptakan 97 juta pekerjaan baru.

Robot unggul dalam tugas berulang seperti manufaktur, analisis data, dan layanan pelanggan otomatis. Misalnya, di pabrik-pabrik modern, robot seperti yang digunakan oleh perusahaan seperti Tesla atau Foxconn dapat merakit komponen dengan presisi tinggi, mengurangi kesalahan manusia hingga 90%. Namun, manusia tetap diperlukan untuk inovasi dan pengambilan keputusan yang etis.

Di sisi lain, data dari McKinsey Global Institute (2023) menunjukkan bahwa 800 juta pekerjaan berisiko hilang akibat otomasi, terutama di sektor manufaktur dan ritel, tetapi manusia dapat beradaptasi melalui reskilling.

Hal ini menunjukkan bahwa robot lebih efisien untuk tugas tertentu, tetapi manusia lebih fleksibel di lingkungan yang berubah-ubah.

Saat ini, mari kita turun ke data lapangan di NTT, sebuah provinsi yang mewakili tantangan dunia kerja di daerah berkembang. NTT memiliki populasi sekitar 5,4 juta jiwa (BPS 2023), dengan perekonomian yang didominasi oleh pertanian (40%), perikanan, dan pariwisata.

Tingkat kemiskinan terbuka di NTT mencapai 4,8% pada tahun 2023 (BPS), lebih tinggi dari rata-rata nasional 5,3%, dengan mayoritas pekerja di sektor informal (sekitar 70%).

Data lapangan Kementerian Ketenagakerjaan (2023) menunjukkan bahwa hanya 15% tenaga kerja di NTT yang memiliki akses ke pelatihan teknologi, dibandingkan dengan 30% di Jawa.

Ini membuat robot—yang membutuhkan infrastruktur seperti listrik stabil dan internet cepat—belum sepenuhnya siap di daerah ini. Misalnya, di sektor pertanian NTT, seperti di Kabupaten Kupang atau Flores Timur, petani masih mengandalkan tenaga manusia untuk menanam dan memanen karena keterbatasan mesin.

Studi lapangan dari Universitas Nusa Cendana (Undana) pada tahun 2022 menemukan bahwa penggunaan drone untuk pemantauan lahan hanya dilakukan oleh 5% petani, karena biaya tinggi dan keterampilan rendah.

Robot seperti traktor otomatis belum merata, sehingga manusia tetap dominan, tetapi dengan produktivitas rendah—hasil panen padi di NTT hanya 4-5 ton per hektar, jauh di bawah potensi nasional 6-7 ton (BPS 2023).
Namun, tantangan ini juga menunjukkan kekuatan manusia. Di NTT, data dari Dinas Tenaga Kerja NTT (2023) mengungkapkan bahwa 60% pekerja muda (usia 18-35 tahun) terlibat dalam bidang ekonomi kreatif seperti kerajinan tangan dan pariwisata budaya, di mana kreativitas manusia tak tergantikan.

Misalnya, di Desa Wae Rebo, Flores, wisatawan datang bukan karena robot, melainkan karena interaksi manusia dengan pemandu lokal yang menceritakan legenda dan budaya. Robot mungkin bisa menggantikan tugas fisik, tetapi tidak memiliki empati atau adaptasi budaya. Survei lapangan dari Bank Dunia (2022) di NTT menunjukkan bahwa 70% responden pekerja informal merasa siap beradaptasi dengan teknologi jika diberi pelatihan, menunjukkan resiliensi manusia.

Dibandingkan robot, yang membutuhkan pemeliharaan mahal dan rentan terhadap gangguan (seperti pemadaman listrik yang sering terjadi di NTT, dengan rasio listrik 85% pada tahun 2023), manusia lebih tahan banting.

Data dari PLN NTT (2023) mencatat 200-300 kali pemadaman per tahun di daerah pedalaman, yang bisa melumpuhkan robot tetapi tidak bagi manusia.

Mari kita bandingkan lebih dalam. Robot lebih siap dalam skala besar dan efisiensi. Di dunia kerja masa depan, AI seperti yang digunakan di perusahaan e-commerce global dapat memproses jutaan transaksi per detik, mengurangi biaya operasional hingga 30% (laporan Deloitte 2023). Namun, di NTT, data lapangan menunjukkan keterbatasan ini. Di sektor perikanan, misalnya nelayan di Labuan Bajo masih menggunakan perahu tradisional karena teknologi seperti sonar otomatis mahal dan tidak tahan ombak besar.

Studi dari KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) 2023 menemukan bahwa produktivitas perikanan NTT hanya 50% dari potensinya, karena kurangnya adopsi teknologi. Robot dapat membantu, tetapi manusia diperlukan untuk navigasi dan penanganan cuaca ekstrem. Di sisi lain, manusia lebih siap dalam hal etika dan keinginan.

Laporan IPCC (2023) menekankan bahwa perubahan iklim memerlukan solusi kreatif, seperti diversifikasi tanaman di NTT untuk menghadapi kekeringan—sesuatu yang robot sulit dilakukan tanpa masukan manusia.

Data lapangan juga menunjukkan risiko over-reliance pada robot. Di NTT, proyek percontohan AI di pertanian oleh FAO (Food and Agriculture Organization) pada tahun 2022 gagal di beberapa desa karena kurangnya keterampilan operator manusia, menghasilkan kerugian 20-30% produktivitas awal.
Berbeda dengan manusia, yang dapat belajar dari pengalaman. Survei ILO (International Labour Organization) 2023 di Indonesia Timur, termasuk NTT, menemukan bahwa 55% pekerja muda lebih memilih pekerjaan yang melibatkan interaksi sosial daripada tugas otomatis, menunjukkan preferensi manusiawi. Di masa depan, dunia kerja akan hybrid: robot menangani tugas rutin, manusia fokus pada inovasi. Namun, di daerah seperti NTT, manusia lebih siap karena ekonomi informalnya yang fleksibel—misalnya, pedagang pasar yang beradaptasi dengan e-commerce tanpa robot penuh.

Tantangan utama di NTT adalah kesenjangan digital. Data dari Kemendikbud (2023) menunjukkan bahwa hanya 40% sekolah di NTT yang memiliki akses internet stabil, membuat pelatihan AI sulit. Ini membuat manusia lebih bergantung pada keterampilan tradisional, seperti bertani organik yang ramah lingkungan—sesuatu yang robot belum bisa tiru sepenuhnya. Namun, ini juga peluangnya: manusia di NTT dapat menjadi pionir dalam "teknologi hijau" yang manusia-sentris. Laporan UNDP (2023) tentang pembangunan berkelanjutan di Indonesia Timur menyarankan investasi dalam meningkatkan keterampilan manusia untuk mengintegrasikan teknologi, bukan menggantikannya.

Akhirnya, antara robot dan manusia, manusia lebih siap di masa depan dunia kerja, terutama di konteks NTT. Robot mungkin lebih efisien dan akurat, tetapi manusia membawa kreativitas, empati, dan adaptasi yang tak tergantikan. Data lapangan menunjukkan bahwa di daerah berkembang seperti NTT, manusia telah bertahan di tengah keterbatasan infrastruktur, sementara robot masih bergantung pada dukungan manusia. Untuk mempersiapkan masa depan, investasi harus difokuskan pada pendidikan dan pelatihan manusia, bukan hanya teknologi.

Dengan demikian, manusia tidak hanya siap, tetapi juga pemimpin dalam dunia kerja yang semakin kompleks. Jika kita abaikan ini, risiko kemiskinan massal dan kesenjangan sosial akan meningkat, seperti yang terlihat di data NTT.

Mari kita mengutamakan manusia sebagai aset utama, dengan robot sebagai alat pendukung.


Bagikan

KOMENTAR (0)

Alamat Email anda tidak akan ditampilkan. Wajib diisi untuk kolom *

Berita Terkini

Antara Kopi, Tugas, dan Kecemasan: Potret Kehidupan Mahasiswa Zaman Now

Penulis ; Rena Panggabean Mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi UNWIRA Kupang

| Minggu, 26 Oktober 2025
Gerakan literasi sekolah yang menyoroti kurangnya dampak signifikan Di Kota Kupang

Penulis ; Yohanes Alfador Repi. Semester 5 Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Program Studi Ilmu komunikasi, Mahasi

| Minggu, 26 Oktober 2025
Ketika Dunia Digital Menggoda dan Nilai Mulai Tergadaikan

Penulis ; Valencia Rose Virginia Meko Mahasiswa fakultas ilmu komunikasi UNWIRA Kupang (43123020)

| Minggu, 26 Oktober 2025
Moke Dan Generasi Muda

Oleh: Quintus Febryono Ganggas Mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi UNWIRA Kupang

| Minggu, 26 Oktober 2025
Guru SMA/SMK Lembata Nyalakan Semangat Pembelajaran Bermakna Lewat Pelatihan Pembelajaran Mendalam

Pembelajaran mendalam dimulai dari guru yang berani belajar ulang, berani bertanya, dan berani keluar dari zona nyaman

| Minggu, 26 Oktober 2025
AI Menjadi Buku Utama Mahasiswa

Penulis ; REDEMPTUS SERAN BRIA MAHASISWA ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS WIDYA MANDIRA SEMESTER 5

| Minggu, 26 Oktober 2025
Program Makan Bergizi: Niat Baik yang Tergelincir di Pelaksanaan

Oleh ; Margareta Tei Wesa Esa Mahasiswi Fakultas Ilmu Komunikasi UNWIRA Kupang NIM:43123019

| Minggu, 26 Oktober 2025
Indeks Berita

Poling

Silakan memberi tanggapan anda ! Siapa calon bupati dan calon wakil bupati yang kalian anggap layak pimpin lembata 2024-2029?

TERKONEKSI BERSAMA KAMI
Copyright © 2025 Indonesia Surya
Allright Reserved
CONTACT US Lembata
Lembata, Nusa Tenggara Timur
Telp: +6281334640390
INDONESIA SURYA
Viewers Now: 8