Membaca berita tentang dua mahasiswa yang ditangkap karena judi online, sungguh memukul wajah pendidikan.
Sungguh miris memang dengan perilaku Dua mahasiswi di Kupang yang ditangkap karena mempromosikan judi online ini.
Di usia muda, di tengah perjalanan menimba ilmu, mereka justru terjerat oleh godaan dunia maya yang menjanjikan uang cepat dan popularitas semu.
Kasus ini bukan cuma tentang hukum. Lebih dari itu, ini soal **bagaimana mudahnya anak muda hari ini terseret arus “instan” di dunia digital.** Di balik layar ponsel, banyak hal terlihat indah — penghasilan cepat, gaya hidup mewah, dan sorotan pengikut yang memuja. Tapi sedikit yang menyadari, bahwa setiap unggahan, setiap promosi, bisa membawa konsekuensi besar — bukan hanya bagi diri sendiri, tapi juga bagi nama baik keluarga dan lembaga pendidikan yang menaunginya.
Media sosial seolah jadi panggung baru, tempat semua orang ingin dilihat dan diakui. Tapi sering kali, demi itu semua, nilai dan moral mulai digadaikan. Kita lupa bahwa **media sosial adalah cermin diri**, dan cermin itu bisa memantulkan kehormatan atau justru aib yang kita buat sendiri.
Saya tidak ingin menghakimi. Setiap orang bisa tergelincir. Tapi dari kasus ini, ada pelajaran besar: bahwa **pendidikan karakter dan etika digital** tidak kalah penting dari prestasi akademik. Kita sering bangga dengan kemampuan teknologi anak muda, tapi lupa mengajarkan bagaimana menggunakannya dengan tanggung jawab.
Peran keluarga dan kampus juga penting. Orang tua perlu lebih dekat, bukan hanya dalam pengawasan, tapi dalam percakapan. Sementara lembaga pendidikan harus berani menanamkan nilai moral di tengah perkembangan digital yang serba bebas. Jangan biarkan anak muda kita tumbuh cerdas secara teknologi tapi kosong secara hati.
Saya percaya, hukuman bukanlah akhir cerita. Justru dari kasus seperti ini, kita semua diingatkan: bahwa dunia digital adalah dunia nyata dengan risiko yang nyata pula. Ia bisa menjadi alat untuk berkarya dan menginspirasi, tapi juga bisa menjerumuskan kalau kita salah arah.
Semoga ini menjadi titik balik, bukan hanya bagi dua mahasiswi itu, tapi juga bagi kita semua — agar lebih bijak, lebih hati-hati, dan lebih beretika dalam dunia maya. Karena pada akhirnya, **nilai diri tidak ditentukan oleh seberapa viral kita di internet, tapi seberapa jujur dan bertanggung jawab kita di kehidupan nyata.**