Moke merupakan minuman tradisional dari Nusa Tenggara Timur yang memiliki nilai budaya yang mendalam. Dalam tradisi, moke berfungsi sebagai lambang persaudaraan, penghormatan, dan satu kesatuan.
Setiap teguk moke dalam acara adat mencerminkan nilai kekeluargaan dan sikap saling menghormati di antara warga. Namun, di tengah perubahan pola hidup modern, makna moke semakin bergeser.
Saat ini, banyak anak muda di Kota Kupang yang menikmati moke bukan untuk melestarikan budaya, melainkan sebatas gaya hidup dan hiburan belaka.
Fenomena anak muda yang menikmati moke saat malam minggu, perayaan ulang tahun, atau acara-acara kecil kian umum terjadi.
Bagi sebagian dari mereka, moke diartikan sebagai tanda keberanian, kedekatan, bahkan cara menunjukkan bahwa mereka sudah dewasa. Padahal, perilaku semacam itu justru menjauhkan moke dari makna budaya sejatinya.
Ketika moke dikonsumsi di luar konteks tradisi, terutama dalam jumlah yang berlebihan, maknanya menjadi alat untuk bersenang-senang tanpa batas. Ini menjadi awal dari penyalahgunaan dan dampak negatif di kalangan anak muda.
Penyalahgunaan moke di kalangan remaja memberikan konsekuensi serius. Banyak anak muda yang mabuk di tempat umum, terlibat dalam perkelahian, hingga mengalami kecelakaan karena hilangnya kontrol.
Selain itu, kebiasaan ini juga berdampak buruk pada pendidikan. Banyak pelajar yang kehilangan konsentrasi dalam belajar karena terlalu sering begadang dan mabuk di akhir pekan.
Secara perlahan, masa depan mereka bisa hancur hanya karena kebiasaan yang dianggap sepele ini.
Moke, yang seharusnya menjadi bagian dari kekayaan budaya, kini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan menurunnya moral dan semangat generasi muda.
Lebih buruk lagi, lingkungan sosial seringkali justru memperkuat kebiasaan buruk ini.
Banyak remaja merasa "kurang kekinian" jika tidak ikut mengonsumsi moke saat berkumpul. Tekanan dari teman sebaya dan keinginan untuk diterima membuat mereka terjebak dalam perilaku yang berisiko.
Sementara itu, orang tua dan masyarakat kadang tidak menyadari, dengan alasan bahwa moke bagian dari tradisi lokal. Namun, konteksnya telah berubah jauh. Budaya harus tetap dilestarikan, tetapi perilaku mencari mabuk bukanlah warisan yang seharusnya dipertahankan.
Pemerintah daerah dan lembaga pendidikan seharusnya mengambil peran aktif untuk memberikan pemahaman tentang makna sebenarnya dari moke serta bahaya dari penyalahgunaannya.
Sosialisasi mengenai batasan dan tanggung jawab dalam menjaga tradisi perlu ditingkatkan. Selain itu, dibutuhkan regulasi yang jelas mengenai penjualan moke, terutama kepada anak di bawah umur. Dengan cara ini, moke dapat tetap dihargai sebagai simbol budaya tanpa menjadi sumber masalah sosial.
Generasi muda di Kupang perlu menyadari bahwa mencintai budaya tidak berarti harus menirunya tanpa memahami maknanya. Menghormati moke berarti menjaga nilai dan sejarahnya, bukan menyalahgunakannya untuk kesenangan sekejap.
Masa depan tidak akan cerah jika generasi muda terjebak dalam perilaku konsumtif yang tidak bertanggung jawab terhadap warisan budaya mereka.
Pada akhirnya, moke memang merupakan bagian dari identitas masyarakat NTT, tetapi cara pandang generasi muda terhadapnya akan menentukan apakah moke tetap menjadi simbol budaya yang membanggakan, atau justru menjadi penyebab kehancuran masa depan mereka.
Sudah waktunya kita bersama-sama menanamkan kesadaran baru: bahwa warisan budaya tidak boleh dijadikan alasan untuk menghancurkan diri sendiri, melainkan harus menjadi cermin kebijaksanaan yang membimbing generasi menuju masa depan yang lebih baik.