Beberapa hari terakhir ini alogaritma Tiktok saya atau yang biasa disebut fyp (for you page) dipenuhi dengan konten menarik dari orang Manggarai yang viral. Tapi, tidak semua menyenangkan.
Di balik tawa dan komentar lucu, ada pula ejekan, sindiran, hujatan, bahkan penghinaan hingga caci maki anatar sesama orang Manggarai sendiri. Contohnya pada salah satu konten orang Manggarai yang membuat konten reaksi kepada video rap dari penyanyi Hip-hop asal Manggarai.
Ruang hiburan yaitu Tiktok menjadi populer di kalangan masyarakat Manggarai. Kreator-kreator membuat konten lucu dengan logat atau kebiasaan khas daerah. Di balik humor itu, sering kali muncul komentar saling ejek atau dalam bahasa Manggarai “mbecik”.
Awalnya mungkin dianggap lucu, tapi semakin lama itu berubah menjadi cyberbullying: komentar kasar, merendahkan, bahkan hingga menyerang fisik atau keluarga seseorang.
Maknanya, masyarakat batas antara bercanda dan menghina, lalu bersembunyi di balik kata “resiko unggah di media sosial”.
Merasa punya dalih besar untuk memberi komentar jahat.
Rendahnya literasi digital dan etika komunikasi, Sebagian pengguna media sosial belum bahkan tidak memahami etika komunikasi digital, yaitu bagaimana cara menyampaikan pendapat tanpa merugikan atau melukai orang lain.
Menurut Johannesen (1996), setiap tindakan komunikasi adalah sebuah keputusan moral. Yang berarti, ketika seseorang menulis komentar negatif, ia telah memilih untuk melanggar nilai moral seperti kejujuran, empati, dan rasa.
Orang yang berani untuk berkomentar negatif hingga penghinaan terhadap seseorang di ruang publik sebenarnya sedang merendahkan kehormatan dirinya sendiri.
Cyberbullying tidak hanya melukai individu, tapi juga menciptakan perpecahan sosial.
Ketika orang Manggarai menjatuhkan sesamanya di ruang publik, hal itu membuat citra budaya Manggarai jadi buruk di mata orang luar, seolah-olah masyarakat Manggarai tidak rukun dan senang menghina sesama. Padahal, budaya Manggarai dikenal menjunjung tinggi “Tuka Agu Curup” yang artinya persaudaraan dan kebersamaan. Berarti perilaku negatif di dunia digital bertolak belakang dengan nilai budaya dan adat yang begitu kental di Manggarai.
Untuk mengatasi fenomena ini, perlu edukasi lebih lanjut tentang etika komunikasi di media sosial. Para pengguna Tiktok harap belajar berkomunikasi yang baik dengan empati dan tanggung jawab sosial.
Sebelum mengunggah atau mengomentari sesuatu, sebaiknya bertanya kepada diri sendiri, apakah kata-kata ini bisa memotivasi atau justru melukai? Karena hal yang menurut kita baik dan mendukung bisa menjadi kesedihan dan luka bagi orang yang dituju.
Media sosial adalah tempat yang harusnya menjadi ruang mempererat bukan memecah