Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering dengar kata "makian itu tanda sayang". Ini untuk membenarkan kata-kata kasar antar teman.
Hal ini biasa terjadi, terutama di kalangan remaja atau kelompok yang sudah lama kenal. Tapi, apakah makian benar-benar tanda dekat?
Di artikel ini, saya akan bahas dinamika ini. Saya lihat sisi baiknya sebagai pembangun solidaritas, dan sisi buruknya yang bisa rusak batasan pribadi. Akhirnya, saya percaya pertemanan sejati harus berdasarkan hormat, bukan izin untuk saling sakiti.
Mari akui, di awal pertemanan, kita semua sopan dan hati-hati. Kata-kata kita selalu baik, takut salah. Tapi lama-lama, makian muncul dan diterima tanpa masalah. Ini seperti ritual masuk kelompok. "Oke, kamu sekarang bagian dari kami. Kita bisa buka topeng dan bicara apa adanya."
Di sini, bahasa kasar jadi tanda akrab. Ia tunjukkan kita sudah nyaman satu sama lain, tanpa saring kata. Bayangkan, ada kenyamanan besar saat kita bisa bilang kata-kata "kotor" tanpa takut dihakimi.
Teman tidak nilai dari kata, tapi dari niat di baliknya. Ini seperti kode rahasia: "Saya tahu kamu baik, jadi saya tidak tersinggung meski kata saya kasar, dan kamu tahu saya peduli."
Bagi banyak kelompok, makian jadi bagian kerentanan. Berani kasar di depan mereka artinya kita percaya diri asli. Ini kuatkan ikatan, buat pertemanan lebih asli dan bebas pura-pura. Tapi, jangan terlalu romantis dengan ide ini.
Anggap makian sebagai sayang bisa bahaya. Ia buat zona abu-abu yang bingungkan batasan.
Pertama, masalah batasan pribadi. Akrab yang terlalu bebas sering langgar kenyamanan orang. Contoh, satu makian yang sakit hati bisa dipaksa terima untuk jaga harmoni kelompok.
Korban sering harus tertawa pura-pura atau diam, agar tidak dicap "baperan" atau "lemah". Ini tekanan sosial halus yang paksa orang korban rasa sendiri.
Kedua, normalisasi kekasaran. Saat kita biasa pakai makian untuk tunjuk sayang, otak kita kaitkan kekasaran dengan hangat.
Ini bisa rusak cara kita interaksi di luar pertemanan. Bahasa kita pakai tunjukkan cara pikir dan hormat orang lain. Jika kita tidak bisa hormat teman dengan kata baik, bagaimana hormat orang asing atau diri sendiri?
Akhirnya, ini buat kita kurang peka secara umum.
Ketiga, potensi gaslighting emosional. Kata "makian itu tanda sayang" sering jadi alat benarkan kata sakit.
Orang bisa sengaja sakiti, lalu sembunyi: "Cuma bercanda, kan kita teman. Masa gitu aja baper?"
Ini hapus rasa sakit korban dan pindah tanggung jawab ke mereka, bukan pelaku. Lama-lama, ini buat orang ragu rasa sendiri, seolah mereka salah karena terluka.
Secara pribadi, saya yakin pertemanan sehat dibangun atas hormat dan empati, bukan izin sakiti meski niat baik. Makian mungkin jadi tanda dekat di beberapa tempat, tapi bukan satu-satunya atau terbaik untuk tunjuk sayang.
Kita harus jadi diri sendiri tanpa biasakan bahasa rendah. Kedewasaan sejati adalah tahu kapan kode itu hentikan, dan ganti dengan komunikasi yang lebih baik, penuh hormat, dan saling dukung.