Ungkap Realita Sosial

Logo Banggainesia
Local Edition | | Todays News


Marlina, Sumba dan Kita: Membaca Perlawanan Perempuan lewat Teori Feminisme

Oleh : Paskalia Irene Jaga Lejap Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran

IndonesiaSurya
Rabu, 03 Desember 2025 | 09:50:16 WIB
Foto

Di banyak wilayah Indonesia, baik di pelosok, sudut, bahkan kota-kota besar, kekerasan terhadap perempuan masih dianggap sebagai urusan privat, sesuatu yang harus diselesaikan secara diam-diam, tanpa gaduh, dan tanpa laporan.

Hal ini terjadi terutama di keluarga- keluarga konservatif yang kerap membungkam korban dengan dalil tak ingin aib mereka menjadi konsumsi publik. Korban dipaksa untuk diam demi nama baik keluarga, sementara pelaku tetap leluasa menampilkan diri di muka umum, seolah terbebas dari jeratan dan sanksi apa pun.

Perkara kekerasan terhadap perempuan seakan menjadi topik yang sukar untuk dibeberkan, sebab masih banyak orang yang percaya pada pandangan diskriminatif yang menyudutkan korban. Hal ini didorong oleh kuatnya budaya perkosaan (rape culture), sebuah iklim sosial yang cenderung membiarkan dan menormalisasi kekerasan terhadap perempuan. Celakanya, kekerasan itu bahkan acap kali dibungkus dalam balutan lelucon, seakan menyangsikan dampak buruk yang dialami korban.

Fenomena sosial inilah yang menjadi tanda adanya kebisuan kolektif atas kekerasan terhadap perempuan yang dibedah dengan tajam dan cerdas dalam sebuah film bertajuk “Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak” (2017) karya Mouly Surya.

Sebagai media massa, film sendiri memiliki keterkaitan dengan industri budaya. Tidak sekadar menghibur, film juga dapat menjadi sarana untuk memperkuat ideologi dan nilai untuk memperkuat kohesi sosial.

Film tersebut membawa para penonton menyusuri Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur, wilayah yang sering hanya hadir sebagai latar eksotis dalam brosur pariwisata. Bagaimana tidak, kemolekan Sumba yang tersohor hingga ke kancah internasional, membuatnya dengan mudah dijadikan wajah yang membentuk citra apik di kalangan para pelancong. Namun di tangan Mouly, Sumba justru disajikan sebagai ruang yang terasa jauh dari akses keadilan, minim layanan publik, dan dikuasai relai kuasa patriarkis.

Berangkat dari kisah Marlina, seorang janda yang hidup sendiri dan harus mengalami durjana ketika ia dirampok dan diperkosa. Marlina enggan memilih diam. Ia bertekad melakukan pembalasan lewat cara yang terbilang ekstrem, yakni dengan memenggal kepala sang pelaku dan membawanya ke kantor polisi sebagai barang bukti bahwa ia layak didengar.

Barangkali aksi Marlina itu terdengar sadis jika kita menilik dari kacamata kemanusiaan tanpa tahu-menahu tentang kemalangan yang menimpanya. Padahal upaya untuk membela diri dan mempertahankan harkat serta martabat korban nyaris terabaikan dari ruang sosial. Belum lagi aneka stigma nirempati yang sering dilontarkan kepada korban membuat mereka kadang tak punya daya untuk sekadar bersuara.

Untuk memahami kekuatan komunikasi film, kita bisa menggunakan salah satu teori feminisme yang muncul dari pemikiran Cheris Kramarae. Secara khusus, ia menyoroti bagaimana relasi kuasa gender bekerja di dalam teks dan praktik komunikasi (Morissan, 2024). Dari perspektif lain, Mulvey (1975) kemudian mengembangkan konsep male gaze yang menjelaskan bagaimana film arus utama sering memosisikan perempuan sebagai objek bagi laki-laki.

Lebih lanjut, Mulvey melihat bagaimana alur film utama cenderung menempatkan perempuan sebagai objek pandang, di mana tubuhnya dibingkai untuk memuaskan tatapan laki-laki, baik tokoh dalam film maupun penonton di kursi bioskop. Akibatnya, perempuan terkesan jarang menjadi subjek yang aktif. Ia seolah hadir sebagai pemanis visual, bukan penggerak narasi. Namun, Marlina justru hadir sebaliknya. Kamera tidak memanjakan mata penonton dengan tubuh perempuan, tapi memaksa kita untuk melihat dan menyadari budaya kekerasan yang selama ini disembunyikan.

Alih-alih mengobjektifikasi Marlina, film ini mengajak penonton untuk melihat dari sudut pandang Marlina: tatapan kosongnya, tubuhnya yang kaku, kesesakan dalam dirinya saat menahan trauma, hingga keputusasaan yang berubah menjadi kekuatan. Dalam banyak adegan, Marlina bukan perempuan yang dilihat sebagai objek melainkan subjek yang berani membongkar keheningan di tengah masyarakat yang selama ini diam ketika berhadapan dengan kekerasan itu.

Dalam kacamata Semiotika Roland Barthes, film itu mengandung berbagai tanda dan nilai-nilai feminisme yang kuat bila kita kaji dari makna denotasi, konotasi, dan mitos. Hal tersebut terutama dalam penggambaran Marlina sebagai perempuan yang menolak pasif dan memilih untuk mengambil kendali atas kehidupannya. Marlina tidak menunggu pahlawan laki-laki untuk datang menyelamatkannya. Ia menjadi pahlawan untuk dirinya sendiri, meski cara yang ia tempuh penuh risiko dan berpotensi mengundang stigma baru (Yustiana & Junaedi, 2019).

Penelitian lain juga menegaskan bagaimana film ini mengangkat perlawanan perempuan terhadap budaya patriarki yang mengekang dan menutup akses bagi para perempuan. Representasi itu hadir bukan hanya dalam tokoh Marlina, tetapi juga tampak pada tokoh Novi yang saat itu sedang hamil dan harus terus-menerus bergantung pada suaminya. Keduanya menunjukkan spektrum pengalaman perempuan dari kekerasan fisik hingga kekerasan psikologis yang mengikis martabat manusia (Taqwa, 2023).

Dari kerangka teori male gaze, Marlina seolah membajak bahasa komunikasi yang biasanya maskulin. Potret Sumba yang luas dan sepi tidak difungsikan sebagai latar yang romantis, melainkan sebagai metafor kesepian struktural perempuan, yang jauh dari layanan kesehatan, jauh dari Lembaga Bantuan Hukum dan jauh dari dukungan sosial. Jalan panjang yang kering dilalui Marlina sambil memboyong kepala pelaku menunjukkan betapa beratnya beban yang harus ditanggung oleh perempuan ketika sistim hukum dan sosial tidak berpihak padanya.

Di titik itu, film tersebut sekali lagi mempertegas keberadaannya uang bukan sekadar menjadi sarana hiburan, melainkan teks komunikasi yang menginterupsi kenyamanan kita. Ia memaksa kita bertanya mengapa Marlina harus melakukan perjalanan sejauh itu untuk didengar? Mengapa laporan kekerasan sering dipertanyakan balik, semisal “mengapa tidak melawan?” atau “mengapa tidak berteriak” , sementara kita sendiri tahu bahwa stuktur sosial sering tidak memberi ruang aman bagi perempuan untuk bersuara.
Fenomena sosial yang disentuh Marlina bukan fiksi belaka.

Laporan berbagai lembaga menunjukkan bahwa kekerasan berbasis gender masih tinggi, sementara angka pelaporan relatif rendah karena korban takut distigma, tidak dipercaya, atau bahkan dikriminalisasi balik. Film ini, dengan segala kontroversinya, menawarkan imajinasi alternatif: perempuan yang menolak diam, yang memaksa negara dan masyarakat menatap luka yang selama ini ditutupi.

Sesungguhnya, ini bukan hanya tulisan, melainkan refleksi pribadi dari seorang anak perempuan yang juga mengalami kekerasan itu. Semoga, tak ada lagi saya, Marlina, atau perempuan lain di luar sana yang harus menjejali jalan panjang untuk keluar dari labirin kekerasan.


Bagikan

KOMENTAR (0)

Alamat Email anda tidak akan ditampilkan. Wajib diisi untuk kolom *

Berita Terkini

Rahel Kahi Atlet Tinju Putri NTT Yang Adalah Mahasiswi Hukum Tidak Malu Jadi Tukang Ojek Online.

Putri Waingapu Sumba Timur yang lahir pada, 26 Februari 2003 dari pasangan bapak Hiwa Talu Kabu dan Ibu Alm. Yuliana Daw

| Selasa, 02 Desember 2025
Jaga Identitas Budaya Legalitas KPOTI Disahkan Depkumham

Sandro menyebut, KPOTI telah memperoleh pengesahan badan hukum dari Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia melalui

| Selasa, 02 Desember 2025
Tutup dan Boikot Aktivitas MyRepublic, Aliansi Mahasiswa Desak Pengusiran Vendor Asing di Makassar

“Kami menilai pemberhentian oknum vendor tersebut adalah bukti awal bahwa dugaan kecurangan yang merugikan masyarakat

| Selasa, 02 Desember 2025
Monitoring Revitalisasi Sekolah di Lembata, Wabup Nasir Tegaskan Kepatuhan pada Standar Pembangunan

Monitoring ini dilakukan untuk memastikan seluruh pekerjaan konstruksi berjalan sesuai ketentuan dan spesifikasi teknis

| Selasa, 02 Desember 2025
Hari Menanam Pohon Indonesia, PLN Grup NTB Tanam 5.000 Bibit Mangrove di Pesisir Lombok Timur

Kegiatan bertajuk Roots of Energy ini digelar serentak secara nasional sebagai wujud komitmen PLN dalam menjaga keberlan

| Selasa, 02 Desember 2025
Terkait Dugaan Oknum Polisi Mengambil iPhone di Bulukumba, Ini penjelasan Kasat Reskrim

Kasat Reskrim mengungkap bahwa oknum polisi tersebut berinisial Bripda AR, yang bukan merupakan personel Polres Bulukumb

| Senin, 01 Desember 2025
Indeks Berita

Poling

Silakan memberi tanggapan anda ! Siapa calon bupati dan calon wakil bupati yang kalian anggap layak pimpin lembata 2024-2029?

TERKONEKSI BERSAMA KAMI
Copyright © 2025 Indonesia Surya
Allright Reserved
CONTACT US Lembata
Lembata, Nusa Tenggara Timur
Telp: +6281334640390
INDONESIA SURYA
Viewers Now: 7