Ungkap Realita Sosial

Logo Banggainesia
Local Edition | | Todays News


Gunung Lewotobi: Letusan, Tantangan, dan Nilai Kearifan Lokal

Catatan Lepas Dr. Laurensius Lehar, S.P., M.P. Akademisi Politeknik Pertanian Negeri Kupang, Kelahiran gunung Uyelewun.

IndonesiaSurya
Rabu, 13 November 2024 | 10:03:37 WIB
Dr. Laurensius Lehar, S.P., M.P. Akademisi Politeknik Pertanian Negeri Kupang, Kelahiran gunung Uyelewun.

Pendahuluan

Gunung Lewotobi adalah salah satu gunung berapi aktif yang tersebar di kepulauan Indonesia, tepatnya terletak di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Indonesia sendiri berada di jalur tektonik yang dikenal sebagai "Cincin Api Pasifik," yang membuat negara ini menjadi salah satu kawasan dengan aktivitas vulkanik tertinggi di dunia.  Sebagai bagian dari wilayah ini, Gunung Lewotobi juga memiliki peran penting dalam dinamika geologi dan kebencanaan di Nusa Tenggara Timur. Gunung ini dikenal tidak hanya karena aktivitas vulkaniknya, tetapi juga karena keunikannya yang terdiri dari dua puncak yang disebut oleh masyarakat setempat sebagai "Lewotobi Laki-laki" dan "Lewotobi Perempuan." Keberadaan dua puncak ini dianggap memiliki makna yang mendalam dalam budaya dan spiritualitas masyarakat sekitar, di mana masing-masing puncak dianggap memiliki karakter dan sifat yang berbeda. Lewotobi Laki-laki melambangkan kekuatan dan keberanian, sedangkan Lewotobi Perempuan lebih merepresentasikan kelembutan dan keibuan.

Secara geologi, Gunung Lewotobi terbentuk akibat pergerakan lempeng tektonik Indo-Australia yang bertumbukan dengan lempeng Eurasia. Tumbukan ini menciptakan tekanan yang mendorong magma ke permukaan dan menghasilkan gunung berapi yang aktif. Lewotobi berada di jalur vulkanik yang menghubungkan beberapa gunung berapi lainnya di Indonesia, seperti Gunung Egon dan Gunung Rokatenda di Nusa Tenggara Timur. Proses pembentukan Lewotobi berlangsung selama jutaan tahun, melalui berbagai fase erupsi yang mengubah morfologi dan ketinggian puncaknya dari waktu ke waktu. Dari sudut pandang topografi, Lewotobi berdiri megah dengan ketinggian sekitar 1.703 meter di atas permukaan laut (m dpl) Gunung Lewotobi Perempaun dan dan puncak yang sedikit lebih rendah tetapi lebih aktif dinamakan Gunung Lewotobi Laki-Laki (1.584 m dpl). Lerengnya ditutupi oleh hutan hujan tropis yang lebat, yang menjadi tempat hidup bagi berbagai flora dan fauna endemik di wilayah Flores Timur. Selain itu, kehadiran gunung ini juga memengaruhi pola aliran air di sekitarnya, yang menjadi sumber mata air penting bagi penduduk di desa-desa sekitar. 

Sejarahnya, Gunung Lewotobi telah mengalami beberapa kali letusan besar yang membawa dampak signifikan terhadap kehidupan masyarakat sekitar. Catatan geologis menunjukkan bahwa gunung ini telah meletus berkali-kali sejak ratusan tahun yang lalu. Gunung Lewotobi Laki-laki tercatat mengalami riwayat erupsi yang lebih panjang. Melansir dari volcano.si.edu, gunung ini pernah erupsi pada 1861, 1865, 1868 (dua kali), 1869, dan 1907.

Kemudian, gunung api ini kembali meletus disertai aliran lava pada 1909, 1910, dan 1914. Serta mengalami erupsi kembali di tahun 1932, 1933, 1939, dan 1940.

Setelah itu, Gunung Lewotobi Laki-Laki beberapa kali erupsi lagi menyemburkan abu pada 1969, 1970, dan tanggal 2 April 1990. Kemudian, pada 28 Juli 1992, 1999, dan 2002.

Gunung Lewotobi Laki-Laki mengalami beberapa erupsi lagi, termasuk semburan abu pada tahun 1969, 1970, dan 1990. Erupsi lainnya juga tercatat pada 1991, 1999, dan 2002.

Pada 17 Desember 2023, tercatat kembali erupsi PVMBG resmi menaikkan status Gunung Lewotobi Laki-laki dari sebelumnya level I atau normal menjadi level II atau waspada.

Pada 1 Januari 2024, PVMBG kembali menaikkan status Gunung Lewotobi Laki-laki menjadi Level III (Siaga) karena adanya peningkatan aktivitas visual dan kegempaan yang terekam.

Gunung Lewotobi Laki-laki sempat kembali naik status menjadi level IV (Awas) pada 9 Januari 2024 pukul 23.00 Wita, lalu diturunkan menjadi Level III (Siaga) pada 29 Januari 2024 pukul 12.00 Wita. Hingga kini, berdasarkan hasil pemantauan visual dan instrumental menunjukan adanya peningkatan aktivitas vulkanik pada Gunung Lewotobi Laki-laki, yang terhitung mulai Minggu, 3 November 2024 pukul 24.00 Wita. Pada Senin, (4/11/2024), Gunung Lewotobi Laki laki berstatus level IV alias Awas.  

Letusan tahun 2024 ini tidak hanya menyebabkan kerusakan pada lahan pertanian, tetapi juga memaksa ribuan orang untuk dievakuasi ke daerah yang lebih aman. Abu vulkanik yang menyelimuti permukiman membuat masyarakat harus meninggalkan rumah mereka, dan kegiatan sehari-hari terhenti dalam waktu yang cukup lama. Selain itu, dampak dari abu vulkanik menyebabkan kerugian ekonomi yang cukup besar, terutama di sektor pertanian. Tanaman pangan seperti padi, jagung, dan umbi-umbian, yang menjadi sumber mata pencaharian utama penduduk, terpaksa rusak akibat lapisan abu yang tebal. Selain itu, banyak hewan ternak yang mengalami masalah pernapasan atau kekurangan pakan akibat tertutupnya tanaman dengan abu vulkanik.  Tidak hanya letusan besar di masa lalu, aktivitas vulkanik Lewotobi yang berkelanjutan juga menjadi perhatian para ahli dan pemerintah. 

Pergerakan magma dan gempa vulkanik yang sering kali terjadi di sekitar gunung ini menunjukkan bahwa Gunung Lewotobi tetap aktif dan memiliki potensi untuk meletus kapan saja. Seismograf dan alat pemantau lainnya terus digunakan untuk memantau aktivitas gunung ini. Setiap perubahan yang terdeteksi, seperti peningkatan suhu tanah atau perubahan warna dan intensitas asap, menjadi sinyal peringatan bagi penduduk untuk segera bersiap menghadapi kemungkinan letusan. Pihak pemerintah juga telah membuat berbagai rencana mitigasi dan evakuasi untuk mengantisipasi dampak dari letusan yang lebih besar. Pengetahuan tentang peringatan dini ini sangat penting, mengingat lokasi Gunung Lewotobi yang dekat dengan pemukiman dan ladang pertanian.

Keberadaan Gunung Lewotobi tidak hanya dipandang sebagai fenomena alam yang penuh tantangan, tetapi juga merupakan bagian integral dari tradisi dan spiritualitas masyarakat sekitar. Masyarakat adat yang tinggal di sekitar gunung ini meyakini bahwa Lewotobi adalah simbol kekuatan alam yang harus dihormati. Mereka menganggap bahwa gunung ini memiliki "roh penjaga" yang perlu dihormati melalui berbagai ritual dan persembahan. Setiap tahun, masyarakat melakukan upacara adat di kaki gunung sebagai bentuk penghormatan dan permohonan perlindungan. Persembahan seperti hewan ternak, hasil bumi, atau sesajen lainnya ditempatkan di area tertentu di sekitar gunung dengan harapan agar alam tetap damai dan tidak menimbulkan bencana. Tradisi ini telah dilakukan secara turun-temurun dan menjadi bagian dari kearifan lokal yang menghargai keseimbangan antara manusia dan alam.

Meskipun kearifan lokal ini terkesan sederhana, namun secara tidak langsung telah membentuk kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga keharmonisan dengan alam. Mereka percaya bahwa setiap tanda yang muncul di gunung adalah cara alam berkomunikasi dengan manusia. Misalnya, perubahan warna asap, suara gemuruh, atau getaran di tanah sering kali dianggap sebagai tanda bahwa gunung sedang dalam kondisi yang tidak stabil. Dengan memperhatikan tanda-tanda ini, masyarakat setempat memiliki pemahaman yang lebih mendalam tentang perilaku alam dan potensi bahaya yang mungkin timbul. Mereka selalu siap siaga dan memiliki sistem komunikasi internal untuk saling memberitahu jika ada perubahan aktivitas di gunung yang mencurigakan.

Letusan Gunung Lewotobi dan Dampaknya

Letusan Gunung Lewotobi tidak hanya menjadi fenomena alam yang mencuri perhatian, tetapi juga membawa dampak signifikan terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat di sekitarnya. Ketika gunung ini meletus, abu vulkanik yang dihasilkan menyebar dalam radius yang luas dan menutupi desa-desa di sekitarnya. Abu vulkanik ini mengandung partikel-partikel halus yang dapat membawa dampak negatif pada kesehatan masyarakat, lingkungan, sektor sosial-ekonomi, dan psikologis.

Dampak pada Kesehatan Masyarakat

Dampak pertama yang dirasakan masyarakat sekitar adalah pada sektor kesehatan. Abu vulkanik yang dihasilkan letusan Gunung Lewotobi mengandung partikel-partikel halus, termasuk silika, yang sangat mudah terhirup dan berpotensi menyebabkan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Risiko ini terutama dialami oleh anak-anak, lansia, dan orang-orang dengan penyakit pernapasan kronis seperti asma atau bronkitis. ISPA menjadi penyakit yang umum terjadi setelah letusan gunung berapi, dan banyak kasus yang memerlukan perhatian medis segera. Abu yang mengiritasi saluran pernapasan menyebabkan gejala seperti batuk, sesak napas, dan sakit tenggorokan, yang dapat berakibat serius jika tidak segera ditangani.

Selain ISPA, paparan abu vulkanik juga dapat mengakibatkan iritasi pada mata dan kulit. Mata yang terkena abu bisa mengalami iritasi, kemerahan, dan bahkan infeksi jika tidak segera dibersihkan. Bagi para petani yang harus terus bekerja di lahan, paparan langsung dengan abu vulkanik juga menimbulkan risiko iritasi kulit. Abu vulkanik yang masuk ke mata atau terhirup ke saluran pernapasan sangat berbahaya, terutama jika kualitas udara memburuk dalam waktu yang lama. Kualitas udara yang tercemar abu vulkanik juga mengakibatkan penurunan visibilitas, yang mengancam keselamatan dalam aktivitas sehari-hari, terutama di jalan raya. Menurunnya kualitas udara bisa bertahan selama berhari-hari atau bahkan berminggu-minggu, tergantung pada besarnya letusan dan arah angin. Upaya penanganan medis dan distribusi masker kepada warga terdampak biasanya menjadi langkah awal untuk mengurangi dampak kesehatan, tetapi akses medis bisa menjadi tantangan di daerah-daerah terpencil.

Dampak pada Lingkungan

Letusan Gunung Lewotobi juga membawa dampak serius pada lingkungan. Abu vulkanik yang menyebar ke berbagai area sekitar tidak hanya menutupi tanah, tetapi juga merusak vegetasi. Tanaman-tanaman, terutama yang berada di lahan terbuka, sangat rentan terhadap abu vulkanik. Partikel-partikel abu yang menempel pada daun dan batang tanaman dapat menghalangi proses fotosintesis, yang akhirnya menghambat pertumbuhan tanaman tersebut. Beberapa jenis tanaman seperti padi dan jagung, yang menjadi komoditas utama masyarakat sekitar, sangat rentan terhadap abu vulkanik. Ketika abu menutupi daun dan batang tanaman ini, proses fotosintesis terganggu, sehingga hasil panen menjadi menurun drastis.  Lebih lanjut, abu yang menutupi tanah juga dapat mengubah sifat kimia tanah dan menurunkan kesuburannya. Abu vulkanik yang mengandung sulfur dan mineral lainnya membuat tanah bersifat lebih asam. Dalam jangka panjang, perubahan sifat tanah ini membutuhkan rehabilitasi dan perlakuan khusus agar dapat kembali subur. Tanah yang tercemar abu juga memengaruhi kehidupan mikroorganisme di dalamnya, yang memiliki peran penting dalam menjaga kesuburan tanah. Proses pemulihan tanah akibat letusan ini membutuhkan waktu yang tidak singkat dan biaya yang tidak sedikit, karena perlu penanganan khusus.

Dampak pada Sosial Ekonomi

Letusan Gunung Lewotobi juga membawa dampak ekonomi yang signifikan bagi masyarakat setempat. Bagi masyarakat yang mayoritas adalah petani, abu vulkanik yang menutupi tanaman dan lahan pertanian merupakan bencana besar. Padi, jagung, dan sayuran yang menjadi sumber utama pendapatan masyarakat tidak bisa dipanen atau rusak akibat abu. Ketika lahan pertanian tertutup abu vulkanik, tanaman tidak hanya rusak, tetapi juga mati. Akibatnya, masyarakat kehilangan penghasilan dan menghadapi kesulitan ekonomi. Selain itu, sektor peternakan juga terdampak oleh letusan gunung ini. Hewan ternak yang mengandalkan rumput atau dedaunan sebagai pakan mengalami kesulitan karena banyak tanaman yang tertutup abu. Para peternak terpaksa mencari pakan tambahan atau membawa ternak mereka ke daerah yang lebih aman dan jauh dari gunung. Hal ini tidak hanya menambah biaya, tetapi juga menurunkan produktivitas ternak. Kerugian ekonomi lainnya juga dapat terlihat dari meningkatnya harga bahan pangan akibat menurunnya produksi pertanian lokal. Dalam beberapa kasus letusan yang signifikan, terjadi evakuasi massal yang menyebabkan masyarakat kehilangan tempat tinggal untuk sementara waktu. Situasi ini mengganggu kehidupan sehari-hari, menyebabkan anak-anak harus berhenti sekolah dan pekerja kehilangan penghasilan. Ketidakpastian ini memperparah kondisi ekonomi masyarakat dan menyebabkan kerugian yang lebih besar. Beberapa data mencatat bahwa pada letusan-letusan sebelumnya, puluhan hingga ratusan hektar lahan pertanian mengalami kerusakan, dan ribuan warga harus dievakuasi.

Dampak Psikologis

Letusan Gunung Lewotobi juga membawa dampak psikologis yang mendalam pada masyarakat di sekitarnya. Rasa takut, cemas, dan trauma merupakan reaksi umum yang dialami oleh penduduk yang harus menghadapi bahaya letusan. Bagi banyak penduduk, menghadapi ketidakpastian atas tempat tinggal, kesehatan, dan keselamatan keluarga mereka membawa beban emosional yang berat. Terutama bagi anak-anak, suara gemuruh dari gunung, getaran tanah, dan visual abu yang menyelimuti daerah sekitar bisa menjadi pengalaman yang menakutkan dan membekas dalam memori mereka.

Trauma yang diakibatkan oleh letusan sering kali berdampak jangka panjang, terutama bagi mereka yang kehilangan tempat tinggal atau anggota keluarga. Anak-anak yang terpaksa mengungsi ke lokasi yang jauh dari rumah mungkin mengalami gangguan dalam perkembangan mental dan sosial mereka. Selain itu, kekhawatiran tentang letusan berikutnya juga membuat masyarakat berada dalam kondisi siaga dan sulit untuk menjalani kehidupan sehari-hari dengan tenang. Bagi sebagian orang, proses pemulihan psikologis bisa lebih lama dibandingkan dengan pemulihan fisik. Bantuan dalam bentuk konseling atau pendampingan psikologis sangat diperlukan agar masyarakat dapat pulih secara emosional dari bencana yang dialami.  Dengan berbagai dampak tersebut, penting bagi pemerintah dan masyarakat untuk meningkatkan upaya mitigasi bencana dan edukasi terkait letusan gunung berapi. Pengetahuan tentang tanda-tanda awal letusan, seperti peningkatan suhu dan gempa vulkanik, serta pentingnya kesiapan evakuasi, perlu disebarluaskan secara efektif. Dengan upaya mitigasi yang tepat, risiko dampak negatif dari letusan Gunung Lewotobi dapat diminimalkan, dan masyarakat dapat lebih siap dalam menghadapi bencana alam yang terjadi.

Tantangan dalam Menghadapi Letusan

Menghadapi letusan Gunung Lewotobi bukanlah tugas yang mudah bagi pemerintah daerah maupun masyarakat setempat. Meskipun upaya mitigasi bencana telah dilakukan, tantangan yang dihadapi sangat besar, terutama terkait dengan infrastruktur yang terbatas di wilayah sekitar gunung. Salah satu kendala utama adalah aksesibilitas jalur evakuasi. Jalur menuju zona aman seringkali sulit dijangkau, terlebih lagi ketika letusan disertai dengan hujan abu yang menutupi jalan dan menghalangi pandangan. Keadaan ini memperburuk perjalanan evakuasi, membuat masyarakat kesulitan untuk segera meninggalkan kawasan rawan bencana. Bahkan, kendaraan yang biasanya digunakan untuk evakuasi pun terkadang tidak dapat melintasi jalan-jalan yang tertutup abu atau rusak akibat gempa vulkanik, memperpanjang waktu yang dibutuhkan untuk menyelamatkan diri.

Selain masalah akses, keterbatasan fasilitas kesehatan di desa-desa sekitar Gunung Lewotobi juga menjadi hambatan besar. Di banyak daerah terpencil, fasilitas kesehatan seperti puskesmas dan pos kesehatan tidak memiliki cukup peralatan medis atau tenaga medis yang memadai untuk menangani jumlah korban letusan dalam waktu singkat. Terlebih lagi, masyarakat yang terdampak letusan, terutama mereka yang menderita penyakit pernapasan akibat abu vulkanik, memerlukan perhatian medis segera. Namun, fasilitas yang ada sering kali tidak mampu memberikan perawatan yang cukup, sehingga masyarakat harus menempuh perjalanan jauh untuk mendapatkan pengobatan yang tepat. Dalam beberapa kasus, kondisi ini menyebabkan penundaan penanganan medis yang berakibat fatal bagi pasien yang membutuhkan perawatan intensif.

Selain itu, distribusi bantuan juga menjadi tantangan besar. Meskipun pemerintah dan organisasi kemanusiaan sering mengirimkan bantuan, seperti masker, air bersih, dan makanan pokok, akses ke desa-desa terpencil yang terisolasi akibat letusan sangat terbatas. Jalan-jalan yang tertutup abu, serta kerusakan infrastruktur transportasi, memperlambat distribusi bantuan. Hal ini sering menyebabkan keterlambatan dalam penyaluran bantuan, sehingga warga yang membutuhkan bantuan darurat harus menunggu lebih lama, meningkatkan penderitaan mereka. Contoh serupa dapat dilihat pada letusan Gunung Merapi di Yogyakarta dan Gunung Sinabung di Sumatra Utara. Di kedua kasus tersebut, masyarakat juga kesulitan mengakses bantuan darurat karena infrastruktur yang rusak dan sulitnya menjangkau daerah terdampak. Pada letusan Gunung Merapi, misalnya, banyak desa yang terisolasi selama beberapa hari setelah letusan besar pada tahun 2010, sehingga bantuan yang sangat dibutuhkan baru bisa sampai setelah beberapa waktu, menyebabkan penderitaan yang lebih lama.

Untuk itu, tantangan dalam menghadapi letusan Gunung Lewotobi menunjukkan pentingnya perencanaan mitigasi yang lebih matang, termasuk perbaikan infrastruktur yang memungkinkan akses cepat ke zona aman dan distribusi bantuan yang lebih efektif. Pemerintah harus memastikan bahwa jalur evakuasi dapat diakses dengan mudah dan cepat, serta mempersiapkan fasilitas kesehatan yang cukup untuk menanggulangi dampak bencana. Selain itu, koordinasi yang baik antara pemerintah pusat, daerah, dan organisasi kemanusiaan sangat diperlukan untuk memastikan bantuan sampai tepat waktu dan tepat sasaran. Mengingat dampak yang bisa terjadi akibat letusan gunung berapi, perlu adanya sistem peringatan dini yang lebih baik dan pelatihan masyarakat agar dapat menanggapi situasi dengan lebih cepat dan tepat.

Nilai Kearifan Lokal sebagai Pilar Ketahanan

Gunung Lewotobi bukan hanya sekadar fenomena alam yang memiliki kekuatan luar biasa, tetapi juga merupakan bagian integral dari kehidupan spiritual dan budaya masyarakat sekitarnya. Keberadaan gunung ini di Flores Timur telah lama dianggap sebagai sumber kehidupan dan penjaga alam. Masyarakat yang tinggal di sekitar gunung Lewotobi memiliki hubungan yang sangat erat dengan gunung ini, yang tercermin dalam berbagai tradisi dan ritual yang mereka lakukan. Ritual dan pantangan yang berhubungan dengan gunung ini tidak hanya mencerminkan penghormatan terhadap alam, tetapi juga menjadi pilar ketahanan yang menjaga harmoni antara manusia, alam, dan spiritualitas.

Salah satu tradisi penting yang dilakukan oleh masyarakat sekitar adalah upacara adat tahunan yang bertujuan untuk memberikan penghormatan kepada Gunung Lewotobi. Upacara ini biasanya dilakukan di musim tertentu, ketika penduduk merasa perlu untuk memperbaharui hubungan mereka dengan gunung. Dalam upacara ini, masyarakat akan melakukan persembahan berupa makanan dan sesajen yang diletakkan di sekitar lereng gunung atau di tempat-tempat yang dianggap keramat. Persembahan ini dimaksudkan sebagai bentuk rasa syukur atas karunia alam yang diberikan, serta permohonan perlindungan agar gunung tidak memberikan dampak buruk terhadap kehidupan mereka. Ritual ini sering kali melibatkan komunitas setempat dalam bentuk doa bersama, yang menguatkan rasa persatuan dan gotong royong di antara warga. Salah satu ritual yang terkenal adalah Ritual Persembahan Tanam yang dilakukan setiap tahun untuk menjaga keseimbangan alam dan sebagai permohonan agar hasil pertanian masyarakat tetap melimpah. Makanan yang dipersembahkan berupa hasil bumi lokal seperti padi, jagung, dan umbi-umbian, yang kemudian diletakkan di tempat-tempat tertentu di sekitar gunung. Selain itu, ada juga tradisi Nggangga Lewotobi, di mana masyarakat akan pergi ke kaki gunung untuk memberikan sesajen berupa hasil pertanian sebagai bentuk penghormatan terhadap dewa gunung yang mereka percayai. Ritual ini dipercaya dapat menjaga hubungan yang harmonis antara manusia dan gunung, serta menghindarkan mereka dari bencana yang mungkin ditimbulkan oleh aktivitas vulkanik.

Pentingnya nilai-nilai kearifan lokal ini tidak hanya terletak pada aspek spiritual, tetapi juga berfungsi sebagai sistem peringatan dini yang sangat berguna bagi masyarakat. Dalam tradisi mereka, masyarakat telah lama mengamati tanda-tanda alam seperti perubahan warna asap yang keluar dari puncak gunung atau getaran di bumi yang dapat menjadi indikator adanya aktivitas vulkanik. Dalam hal ini, kearifan lokal memberikan pengetahuan yang diwariskan secara turun-temurun, yang membantu mereka untuk lebih waspada terhadap kemungkinan terjadinya letusan. Misalnya, jika asap yang keluar dari Lewotobi berubah menjadi tebal atau berwarna merah, itu dianggap sebagai pertanda bahwa gunung sedang menunjukkan gejala-gejala yang lebih besar, yang harus diwaspadai. Ini memberikan waktu bagi masyarakat untuk bersiap-siap dan melakukan evakuasi jika diperlukan. Namun, meskipun kearifan lokal ini terus dilestarikan, tantangan besar datang dari modernisasi dan perubahan cara hidup generasi muda. Saat ini, semakin banyak generasi muda yang mulai mengadopsi gaya hidup yang lebih modern dan terpengaruh oleh budaya luar, sehingga mereka tidak lagi secara aktif mengikuti ritual atau memahami sepenuhnya pentingnya nilai-nilai yang terkandung dalam kearifan lokal tersebut. Pendidikan formal dan akses informasi yang semakin berkembang, serta pengaruh media sosial, telah mengubah cara pandang generasi muda terhadap peran gunung dalam kehidupan mereka. Sebagian dari mereka melihat gunung hanya sebagai objek wisata atau bahkan sebagai ancaman yang harus dijauhkan, bukan sebagai entitas spiritual yang harus dihormati dan dijaga.

Meskipun demikian, ada upaya dari komunitas adat dan orang tua untuk memastikan bahwa nilai-nilai kearifan lokal ini tetap diteruskan. Beberapa kelompok muda di wilayah sekitar Gunung Lewotobi, misalnya, mulai mengadakan pelatihan dan diskusi untuk mengenalkan kembali tradisi dan makna spiritual gunung kepada generasi muda. Program-program seperti ini bertujuan untuk menjaga keberlanjutan kearifan lokal yang telah lama ada, dengan harapan bahwa generasi muda akan semakin sadar akan pentingnya pelestarian alam dan menjaga hubungan yang baik dengan lingkungan sekitar mereka.Dalam konteks ini, kearifan lokal memiliki peran penting dalam ketahanan masyarakat menghadapi bencana. Pemahaman masyarakat terhadap gunung sebagai sumber kehidupan dan perlindungan spiritual memberikan mereka kekuatan mental dan fisik dalam menghadapi letusan atau bencana alam lainnya. Ini juga mencerminkan pentingnya menjaga keseimbangan alam dan mengandalkan pengetahuan lokal sebagai alat mitigasi bencana yang sangat relevan, terutama di daerah-daerah yang rentan terhadap aktivitas vulkanik. Oleh karena itu, pengakuan terhadap kearifan lokal bukan hanya sebagai bagian dari budaya, tetapi juga sebagai sumber daya penting dalam membangun ketahanan masyarakat menghadapi bencana alam, harus terus dipertahankan dan disosialisasikan.

Mitigasi Berbasis Kearifan Lokal dan Kolaborasi Pemerintah

Pentingnya mengintegrasikan kearifan lokal dalam upaya mitigasi bencana semakin diakui, terutama di daerah-daerah yang rawan bencana alam seperti Gunung Lewotobi. Pendekatan berbasis budaya ini tidak hanya melibatkan masyarakat dalam menjaga keseimbangan alam, tetapi juga memberikan dampak positif terhadap ketahanan komunitas dalam menghadapi bencana. Salah satu kunci keberhasilan mitigasi berbasis kearifan lokal adalah kolaborasi antara masyarakat dan pemerintah. Kolaborasi ini memungkinkan penggabungan pengetahuan tradisional dengan teknologi dan strategi modern, yang pada akhirnya memperkuat sistem peringatan dini dan respons terhadap bencana.

Di Indonesia, sudah ada beberapa contoh sukses dari penerapan mitigasi berbasis kearifan lokal yang dapat menjadi inspirasi bagi masyarakat sekitar Gunung Lewotobi. Salah satunya adalah masyarakat Baduy di Banten. Masyarakat Baduy memiliki tradisi adat yang membatasi eksploitasi hutan dan sumber daya alam lainnya, dengan tujuan untuk menjaga kelestarian alam dan menghindari bencana alam seperti longsor atau banjir. Hutan yang dilindungi secara adat ini berfungsi sebagai penyangga alam, mengurangi dampak bencana dan meningkatkan ketahanan masyarakat terhadap perubahan lingkungan. Sistem adat ini sudah berjalan turun-temurun, dan terbukti efektif menjaga keseimbangan alam di wilayah tersebut. Konsep ini dapat diadaptasi di sekitar Gunung Lewotobi, di mana masyarakat dapat terus menghormati gunung sebagai sumber kehidupan dan mengatur pemanfaatan alam secara berkelanjutan, untuk mencegah dampak buruk akibat aktivitas vulkanik.

Ada beberapa contoh lain yang relevan adalah suku Tengger yang mendiami daerah sekitar Gunung Bromo. Masyarakat Tengger memiliki ritual Kasada, yang merupakan bentuk penghormatan kepada Gunung Bromo. Setiap tahun, mereka melakukan persembahan berupa hasil pertanian untuk meminta restu dan perlindungan dari gunung tersebut. Ritual ini juga mengandung nilai kewaspadaan, di mana masyarakat Tengger diajarkan untuk mengenali tanda-tanda alam yang menunjukkan potensi aktivitas vulkanik. Dalam hal ini, ritual Kasada tidak hanya berfungsi sebagai bentuk penghormatan spiritual, tetapi juga sebagai mekanisme mitigasi yang meningkatkan kewaspadaan terhadap bahaya erupsi. Masyarakat Tengger secara aktif memantau perubahan di Gunung Bromo dan menyesuaikan kegiatan mereka berdasarkan tanda-tanda alam tersebut.

Pendekatan yang sama dapat diterapkan di sekitar Gunung Lewotobi. Kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat dalam mengintegrasikan kearifan lokal dapat menciptakan sistem mitigasi yang lebih efektif. Misalnya, pemerintah dapat memanfaatkan pengetahuan masyarakat tentang tanda-tanda alam sebagai bagian dari sistem peringatan dini, sementara teknologi modern, seperti alat pemantau vulkanik, dapat digunakan untuk memberikan informasi lebih cepat dan akurat mengenai potensi letusan. Selain itu, pemerintah juga dapat mendukung pelaksanaan ritual-ritual adat yang dapat memperkuat hubungan masyarakat dengan alam, sambil memberikan pendidikan mengenai mitigasi bencana yang berbasis pada kearifan lokal.

Penting untuk memahami bahwa kearifan lokal bukanlah suatu hal yang ketinggalan zaman, melainkan suatu warisan budaya yang sangat relevan untuk diaplikasikan dalam konteks modern. Dengan memadukan pendekatan tradisional dan teknologi, kolaborasi ini dapat meningkatkan efektivitas mitigasi bencana, mengurangi kerugian, serta membangun ketahanan masyarakat dalam menghadapi bencana alam, seperti yang sudah terbukti di wilayah-wilayah lain di Indonesia.

Penutup

Gunung Lewotobi bukan hanya sekadar gunung berapi yang menjulang tinggi di tengah keheningan alam, tetapi juga bagian tak terpisahkan dari kehidupan budaya masyarakat sekitar yang sarat dengan kearifan lokal. Letusan yang terjadi, meskipun membawa dampak yang besar, sejatinya bukanlah sekadar peristiwa alam yang menakutkan. Ia adalah panggilan untuk merenungkan kembali hubungan kita dengan alam, untuk lebih meningkatkan kesiapsiagaan, dan yang lebih penting, untuk menyadari betapa rapuhnya kehidupan yang tergantung pada keseimbangan alam.





Bagikan

KOMENTAR (0)

Alamat Email anda tidak akan ditampilkan. Wajib diisi untuk kolom *

Berita Terkini

KUHAP tidak memberi kewenangan kepada Jaksa sebagai Penyidik

Penulis, Ahmad Buni.,S.H Advokat Peradi, tinggal di Kupang

| Sabtu, 14 Desember 2024
Julie Laiskodat kembali Bantu Mesin Ketinting dan Cool box untuk Nelayan di Flores Timur

Julie Sutrisno Laiskodat diharapkan tetap memberikan perhatian dan bantuan untuk masyarakat nelayan di Flores Timur.

| Kamis, 12 Desember 2024
Indeks Berita

Poling

Silakan memberi tanggapan anda ! Siapa calon bupati dan calon wakil bupati yang kalian anggap layak pimpin lembata 2024-2029?

TERKONEKSI BERSAMA KAMI
Copyright © 2024 Indonesia Surya
Allright Reserved
CONTACT US Lembata
Lembata, Nusa Tenggara Timur
Telp: +6281334640390
INDONESIA SURYA
Viewers Now: 13