Ungkap Realita Sosial

Logo Banggainesia
Local Edition | | Todays News


KUHAP tidak memberi kewenangan kepada Jaksa sebagai Penyidik

Penulis, Ahmad Buni.,S.H Advokat Peradi, tinggal di Kupang

IndonesiaSurya
Sabtu, 14 Desember 2024 | 07:52:19 WIB
Ahmad Bumi.S.H saat menerima penghargaan

Kupang, Indonesiasurya.com - Akhmad Bumi, SH Founder & General Chairman pada Firma Hukum ABP membuat catatan kritis soal tindak pidana korupsi, dimana penerima penghargaan The Best Lawyer dan Law Firm Service Execellent of the Year 2019 membedah kewenangan aparat penegak hukum (APH) dalam menjalankan amanah negara yang diemban. 

Baca juga ; https://indonesiasurya.com/berhasil-tangani-kasus-hukum-di-wilayah-kejati-ntt-kejari-lembata-terima-penghargaan-dalam-penanganan-tindak-pidana-korupsi-ta-2024

Akhmad Bumi salah satu Top 50 Award 2019 bidang Lawyer mengawali catatan kritisnya menulis bahwa, Belakangan ramai Kejaksaan melakukan tindakan penyelidikan dan penyidikan pada perkara tindak pidana korupsi (Tipikor). Selentingan pertanyaan tiba-tiba lewat, apakah kejaksaan memiliki kewenangan melakukan penyelidikan dan penyidikan dalam tindak pidana korupsi?

Mencoba membuka lembaran KUHAP yang isinya setebal kirab suci, tidak ditemukan pasal dan ayat yang mengatur pemberian kewenangan kepada Kejaksaan sebagai penyelidik dan penyidik dalam kasus tindak pidana korupsi. KUHAP hanya satu yang menjadi rujukan penegak hukum baik Polisi, Hakim, Jaksa, Advokat. Tidak ada KUHAP Polisi, KUHAP Jaksa, KUHAP Hakim, KUHAP Advokat. Tapi hanya ada satu KUHAP untuk semua. 


Kejaksaan dalam melakukan tindakan penyelidikan dan penyidikan serta melakukan upaya paksa dalam proses penyidikan perkara tindak pidana korupsi tidak mempunyai dasar hukum dalam KUHAP dan melanggar prinsip Negara hukum berupa asas legalitas dalam segala bentuknya (due process of law), yaitu segala tindakan harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis.

Dalam KUHAP, wewenang penyelidikan, penyidikan, penangkapan, dan penahanan berada di tangan lembaga Kepolisian, sedangkan penuntutan berada di tangan lembaga Kejaksaan. Dengan pemisahan lembaga Kepolisian sebagai penyidik, dan lembaga Kejaksaan sebagai penuntut umum, tercermin adanya suatu sistem pengawasan demi kepentingan hak-hak tersangka/terdakwa.

Sejak KUHAP dinyatakan mulai berlaku 31 Desember 1981, terjadi koordinasi di bidang penyidikan antara polisi dan penuntut umum. Penuntut umum seringkali mengembalikan berkas penyidikan karena penyidikan yang dilakukan oleh polisi kurang lengkap. Yang dimaksud dengan koordinasi fungsional adalah hubungan kerja sama antara penyidik dan penuntut umum menurut fungsi dan wewenangnya masing-masing dalam penanganan perkara pidana.

Olehnya, Polisi jika hendak menaikan proses penyidikan, maka wajib memberikan SPDP (Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan) untuk diberikan kepada Kejaksaan. SPDP adalah bentuk pengawasan Kejaksaan kepada Penyidik Kepolisian pada tingkat penyidikan. Kalau Jaksa sebagai Penyidik, lantas siapa yang mengawasi? KUHAP tidak memberikan kewenangan tersebut seperti halnya Polisi terkait SPDP.

Hal seperti SPDP adalah adalah hubungan kerja sama yang bersifat saling mengawasi antara penyidik dan penuntut umum dalam proses penanganan perkara pidana. Meskipun fungsi dan wewenang penyidikan dan penuntut umum dibedakan secara tegas, tetapi dalam pelaksanaannya, KUHAP meletakkan dasar-dasar yang mewajibkan adanya mekanisme yang bersifat koordinatif yang saling mengawasi.

Fungsi dan Tugas Kejaksaan sebagai Sub-sistem Peradilan Pidana hampir dalam semua yurisdiksi hukum di dunia, baik dalam tradisi Anglo Saxon, atau tradisi Eropa Kontinental, jaksa merupakan tokoh utama dalam penyelenggaraan peradilan pidana, karena ia memainkan peran penting dalam proses pembuatan dakwaan/tuntutan.

Dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP memisahkan Penyidikan dan Penuntutan. Penyidikan diperuntukkan bagi Kepolisian dan Penuntutan bagi Kejaksaan. Hal itu terlihat dalam Pasal 1 angka 1 s/d 5 bahwa penyidik adalah Pejabat Polisi Negara dengan tugas Penyidikan, jo Pasal 4 s/d 12 jo Bab XIV yang dimulai dari Pasal 102 s/d 136 KUHAP. Pasal 1 angka 6 s/d 7 jo Pasal 13 s/d 15 jo Bab XV yang dimulai dari Pasal 137 s/d 144 KUHAP yang mengatur mengenai pejabat yang diberi wewenang sebagai Penuntut Umum yaitu Kejaksaan.

Dalam Pasal 6 ayat (1) menyebutkan “Penyidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia”. Tidak ditemukan dalam KUHAP, UU Kejaksaan, UU Pemberantasan Korupsi pasal yang memberi perintah atau mengatur bahwa Penyidik adalah pejabat Kejaksaan, sama hal seperti Pejabat Kepolisian. Pada UU Nomor; 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, Pasal 1 angka 1 berbunyi, “Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.” Kejaksaan sebagai penuntut tunggal atau single prosecution system. KUHAP hanya memberikan kewenangan penuntutan kepada Jaksa.

Secara yuridis formil, KUHAP mengintegrasikan sistem peradilan pidana (integrated cirimal justice system) kedalam 5 (lima) sub sistem, yakni:

a. Sub sistem penyidikan yang dilaksanakan oleh Penyidik Polri dan PPNS dari kementerian/ departemen /kantor/lembaga negara. Untuk sub sistem penyidikan, selain diatur di dalam KUHAP, juga didukung pengaturannya dalam UU No.2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan berbagai UU sektoral yang mengatur tentang PPNS.

b. Sub sistem penuntutan yang dilaksanakan oleh Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan RI.

Untuk sub sistem penuntutan selain diatur di dalam KUHAP, juga didukung pengaturannya dalam UU No.16/2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

c. Sub sistem pengadilan yang dilaksanakan oleh Hakim.

Untuk sub sistem pengadilan selain diatur di dalam KUHAP, juga didukung pengaturannya dalam UU No. 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan untuk Peradilan Umum diatur dalam UU No.8/2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum.

d. Sub sistem pemasyarakatan yang dilaksanakan Petugas Lembaga Pemasyarakatan.

Untuk sub sistem pemasyarakatan selain diatur di dalam KUHAP, juga didukung pengaturannya dalam UU No.12/1995 tentang Pemasyarakatan.

e. Sub sistem bantuan hukum yang dilaksanakan oleh Lembaga Bantuan Hukum dan Advokat.

Untuk sub sistem bantuan hukum selain diatur di dalam KUHAP, juga didukung pengaturannya dalam UU No.11/2016 tentang Bantuan Hukum dan UU No.18/2003 tentang Advokat.  

Artinya, dalam sistem peradilan pidana yang terintegrasi (integrated cirimal justice system) masing-masing sub sistem oleh negara diberi dasar hukum untuk melaksanakan kewenangan penegakan hukum pidana materiil pada lingkup kerja masing-masing. Akan tetapi, ketika kelima sub sistem ini bekerja secara terintegrasi dalam sistem peradilan pidana, maka payung hukum (umbrella provision) yang harus dirujuk adalah KUHAP. Oleh karena KUHAP menjadi aturan operasional bersama (rules of the game) dalam mengoperasikan sistem peradilan pidana dalam penegakan hukum pidana materiil.

Dalam sistem peradilan pidana yang terintegrasi di Indonesia, masing-masing sub sistem memiliki kewenangannya masing-masing. Kewenangan penyidikan dilaksanakan oleh sub sistem penyidikan oleh Penyidik Polri dan PPNS. Sementara kewenangan penuntutan dilaksanakan oleh sub sistem penuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan RI. Kewenangan dari masing-masing sub sistem tidak bisa dicampur atau dipertukarkan.

Penyidik Polri dan PPNS tidak boleh melaksanakan kewenangan penyidikan dan kewenangan penuntutan secara bersamaan. Begitupula Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan RI tidak boleh melaksanakan kewenangan penuntutan sekaligus kewenangan penyidikan. Bisa juga dikatakan bahwa Penyidik Polri dan PPNS tidak boleh melaksanakan kewenangan penuntutan, sebaliknya Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan RI tidak boleh melaksanakan kewenangan penyidikan. Jika ada percampuran kewenangan atau pertukaran kewenangan di antara kedua sub sistem peradilan pidana ini, maka itu merupakan penggunaan kewenangan yang tidak sah.

Dalam surat-surat yang diterbitkan oleh Kejaksaan terkait penyidikan, seperti surat penetapan tersangka, surat perintah penahanan, surat dimulainya penyidikan, pasal yang sering digunakan sebagai dasar hukum oleh Kejaksaan adalah Pasal 284 ayat (2) KUHAP. Pasal 284 ayat (2) KUHAP adalah pasal transisi hanya berlaku 2 tahun semenjak KUHAP diundangkan.

Artinya, ketika KUHAP semenjak 31 Desember 1981 sudah menetapkan bahwa kewenangan penyidikan hanya berada pada Penyidik Polri dan PPNS, namun menunda pemberlakuan ketentuan itu untuk sementara hingga 31 Desember 1983 dan masih memberikan kewenangan penyidikan juga kepada Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan RI, karena masa transisional itu sudah disebut secara limitatif dalam jangka waktu 2 (dua) tahun semenjak KUHAP diundangkan.

Pemberlakuan ketentuan Pasal 284 ayat (2) KUHAP dimaknai untuk menghindari kekosongan hukum, menjamin kepastian hukum, serta memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak perubahan ketentuan Peraturan Perundang-undangan dan mengatur hal-hal yang bersifat transisional atau bersifat sementara selama 2 tahun.

Sejak tanggal 1 Januari 1984, Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan RI tidak lagi memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan. Apabila semenjak tanggal 1 Januari 1984, masih ada penyidikan yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum RI, maka penyidikan itu tidak sah karena tidak sesuai dengan ketentuan KUHAP sebagai dasar hukumnya.

Dalam KUHAP Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang juga diberi hak untuk melakukan penyidikan selain Polisi. Jadi KUHAP memungkinkan adanya penyidik yang bukan Polisi. Dalam berbagai UU kita dapat menjumpai aturan tentang penyidikan yang harus dilakukan Penyidik selain Polisi, dalam hal ini PPNS, antara lain: di bidang Perikanan sesuai UU No. 9 Tahun 1985. Di bidang Imigrasi sesuai UU No. 9 Tahun 1992. Di bidang HaKI sesuai UU No. 14 Tahun 2001 tentang Paten, UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek, UU No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri. Di bidang Pasar Modal sesuai UU No. 8 Tahun 1995. Di bidang Lingkungan sesuai UU No. 23 Tahun 1997. Di bidang Kepabeanan sesuai UU No. 30 Tahun 1997.

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan (UU No.16/2004) tidak mengatur kewenangan Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan RI untuk melaksanakan kewenangan penyidikan. 

Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan RI yang diberi wewenang penuntutan oleh KUHAP, juga memiliki dukungan pengaturan dalam UU No.16/2004. Artinya pada lingkungan Kejaksaan RI tidak boleh ada pelaksanaan kewenangan yang bertentangan dengan UU No.16/2004.

Pasal 1 angka 1 UU No.16/2004 menyatakan bahwa, “Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.” Kemudian Pasal 1 angka 2 UU No.16/2004 menyatakan bahwa, “Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh Undang undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.”

Selanjutnya, Pasal 1 angka 3 UU No.16/2004 berbunyi, “Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Hukum Acara Pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.”

Ketentuan umum terkait kewenangan Jaksa Penuntut Umum dalam Pasal 1 angka 1 sampai dengan angka 3 UU No.16/2004, selanjutnya secara detail diatur dalam Pasal 30 ayat (1) UU No.16/2004 yang berbunyi, “Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang, huruf (d): melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang.

Artinya, kewenangan kejaksaan untuk melaksanakan penyidikan diatur dalam Pasal 30 ayat (1) huruf d UU No.16/2004 khusus terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang. Penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf d UU No. 16/2004 menyatakan bahwa, “Kewenangan dalam ketentuan ini adalah kewenangan sebagaimana diatur misalnya dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Undang undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.” 

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU No.26/2000). Pasal 11 ayat (1) UU No.26/2000 berbunyi, “Jaksa Agung sebagai penyidik berwenang melakukan penangkapan untuk kepentingan penyidikan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat berdasarkan bukti permulaan yang cukup.”

Kemudian Pasal 12 ayat (1) UU No.26/2000 berbunyi, “Jaksa Agung sebagai penyidik dan penuntut umum berwenang melakukan penahanan atau penahanan lanjutan untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan.”

Pasal 27 UU Tipikor  menyatakan bahwa, “Yang dimaksud dengan "tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya", antara lain tindak pidana korupsi di bidang perbankan, perpajakan, pasar modal, perdagangan dan industri, komoditi berjangka, atau di bidang moneter dan keuangan.

UU Tipikor memberikan kewenangan penyidikan kepada kejaksaan untuk terlibat dalam proses penyidikan hanya terkait pembuktian yang sulit dari suatu perkara tipikor. Itupun harus berdasarkan Keputusan Jaksa Agung untuk membentuk tim gabungan. Bisa juga dikatakan, tidak semua kewenangan penyidikan bisa melibatkan Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan RI. Lebih konkrit lagi, kewenangan penyidikan terhadap perkara tipikor tetap berada pada Penyidik Polri dan tidak beralih kepada Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan RI.

Pilihan lain jika hendak menjadikan Kejaksaan sebagai penyelidik atau penyidik perlu dilakukan revisi terhadap UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP dan hal itu akan berdampak pada integrated cirimal justice system dalam peradilan pidana yang berlaku hingga saat ini di Indonesia.[]


Bagikan

KOMENTAR (0)

Alamat Email anda tidak akan ditampilkan. Wajib diisi untuk kolom *

Berita Terkini

Julie Laiskodat kembali Bantu Mesin Ketinting dan Cool box untuk Nelayan di Flores Timur

Julie Sutrisno Laiskodat diharapkan tetap memberikan perhatian dan bantuan untuk masyarakat nelayan di Flores Timur.

| Kamis, 12 Desember 2024
Indeks Berita

Poling

Silakan memberi tanggapan anda ! Siapa calon bupati dan calon wakil bupati yang kalian anggap layak pimpin lembata 2024-2029?

TERKONEKSI BERSAMA KAMI
Copyright © 2024 Indonesia Surya
Allright Reserved
CONTACT US Lembata
Lembata, Nusa Tenggara Timur
Telp: +6281334640390
INDONESIA SURYA
Viewers Now: 6