Kasus rabies di Desa Wejang Mawe, Manggarai Timur, kembali membuka mata kita tentang pentingnya komunikasi publik dalam situasi krisis. Pemerintah daerah telah memutuskan untuk melakukan eliminasi anjing liar, sebuah langkah yang sering dianggap cepat dan efektif. Namun, dari sudut pandang komunikasi, kebijakan semacam ini perlu dikaji lebih dalam: apakah masyarakat benar-benar memahami alasan di balik tindakan itu?
Sebagai mahasiswi Ilmu Komunikasi, saya melihat bahwa permasalahan rabies tidak hanya soal kesehatan hewan, tetapi juga soal komunikasi antara pemerintah dan masyarakat.
Komunikasi yang Terlambat Bisa Memicu Kepanikan.Setiap krisis membutuhkan komunikasi yang cepat, jujur, dan empatik. Dalam kasus Wejang Mawe, masyarakat baru heboh setelah muncul korban meninggal dan pemberitaan media meluas. Padahal, kalau informasi mengenai bahaya rabies, jadwal vaksinasi, dan cara penanganan gigitan sudah disosialisasikan sejak awal, kepanikan publik mungkin bisa dihindari.
Bukan berarti pemerintah tidak bekerja. Tetapi, dalam situasi seperti ini, komunikasi krisis harus berjalan sejajar dengan tindakan lapangan. Informasi yang tidak tersampaikan dengan baik bisa menimbulkan kesalahpahaman bahkan resistensi terhadap kebijakan eliminasi hewan.
Media lokal seperti Pos-Kupang.com memiliki peran penting dalam membantu menyebarkan pesan kesehatan publik. Namun, agar pesan benar-benar sampai, bahasa komunikasi harus disesuaikan dengan budaya masyarakat.
Sebagai contoh, di banyak daerah di NTT, anjing bukan sekadar hewan peliharaan, tapi bagian dari kehidupan sosial. Maka, pesan “eliminasi” bisa terdengar keras dan menakutkan. Pemerintah perlu menggunakan pendekatan yang lebih persuasif — misalnya dengan istilah “penertiban hewan liar” dan menekankan aspek perlindungan masyarakat.
Kebijakan kesehatan yang berhasil selalu melibatkan masyarakat sebagai mitra, bukan sekadar objek. Pemerintah, tenaga kesehatan, tokoh adat, dan pemuda harus duduk bersama untuk menyusun strategi komunikasi yang relevan dengan konteks lokal.
Dengan demikian, masyarakat bukan hanya menerima informasi, tapi juga merasa punya tanggung jawab bersama untuk mencegah rabies.
Sebagai calon komunikator, saya belajar bahwa komunikasi bukan sekadar menyampaikan pesan, tetapi juga membangun pemahaman dan kepercayaan.
Kasus rabies di Wejang Mawe seharusnya menjadi pelajaran berharga bahwa di balik setiap kebijakan kesehatan, ada kebutuhan besar akan komunikasi yang lebih manusiawi, transparan, dan berempati.