Maumere, Indonesiasurya.com – Di tengah alam permai dan suara yang bersahut di perbukitan Desa Poma, lahirlah sebuah dialog yang menyatukan dua kekuatan besar: hukum dan kearifan lokal. Pada Selasa, 1 Juli 2025,
Mahasiswa Kuliah Kerja Nyata (KKN) Universitas Nusa Nipa Maumere menggelar kegiatan sosialisasi bertajuk "Hukum Kepariwisataan Berbasis Adat: Menjaga Warisan, Membangun Masa Depan" yang berlangsung di Dusun Letigili.
Kegiatan ini dipimpin oleh Michelson Mo’a Popi, mahasiswa Fakultas Hukum yang juga menjabat sebagai Koordinator KKN Desa Poma,
Bersama empat rekannya dari program studi PGSD, Informatika, dan Manajemen. Mereka bukan sekadar membawa teori hukum ke pelosok desa, tetapi membawa semangat perubahan melalui pemahaman akan pentingnya perlindungan budaya dalam arus pariwisata yang kian mengglobal.
Sosialisasi ini menyentuh tema-tema penting seperti perlindungan rumah adat dan situs budaya, hak atas tanah ulayat, peran masyarakat adat dalam pengelolaan pariwisata, serta peluang ekonomi lokal dari pelestarian budaya. Materi disampaikan dengan bahasa yang membumi, sehingga dapat dipahami dengan mudah oleh warga dari berbagai usia.
Diskusi hangat pun tercipta, terutama ketika pembicaraan menyentuh tentang kebutuhan mendesak akan Peraturan Desa (Perdes) untuk melindungi tradisi, ritus adat, serta lingkungan dari potensi eksploitasi wisata yang tidak terkontrol. Beberapa tokoh adat bahkan menyatakan kesiapan untuk mendampingi proses penyusunan regulasi tersebut, sebagai bentuk keberpihakan terhadap warisan leluhur.
Dalam pemaparannya, mahasiswa KKN juga menekankan tiga dasar hukum nasional yang menjadi pijakan dalam pembangunan pariwisata adat:
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, yang menjamin pembangunan kepariwisataan yang berbasis nilai budaya bangsa dan partisipatif.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang memberi kewenangan bagi desa untuk mengelola potensi lokal, termasuk budaya dan pariwisata, melalui regulasi desa.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, yang menegaskan peran negara dalam melindungi dan mengembangkan budaya tradisional sebagai identitas bangsa.
Tak hanya memberikan edukasi hukum, kegiatan ini juga menjadi ruang refleksi tentang bagaimana desa bisa menjadi garda depan dalam menjaga budaya sekaligus membangun ekonomi berbasis kearifan lokal. Antusiasme masyarakat terlihat dari kehadiran tokoh adat, pemuda, dan ibu-ibu yang mengikuti kegiatan hingga selesai, bahkan mengusulkan agar kegiatan serupa menjadi agenda tahunan.
Kegiatan ini membuktikan bahwa hukum bukan hanya milik ruang sidang dan kota-kota besar. Hukum bisa hidup, menyatu dengan tanah, hutan, dan rumah adat, ketika ia dibawa pulang oleh generasi muda yang peduli akan masa depan budayanya.
Melalui gerakan kecil di Letigili ini, mahasiswa KKN Universitas Nusa Nipa menunjukkan bahwa masa depan pariwisata tak harus meninggalkan akar, melainkan bisa tumbuh dari akar itu sendiri akar budaya, akar hukum, dan akar gotong royong.