Fenomena living together atau tinggal bersama tanpa ikatan pernikahan semakin sering terdengar di kalangan mahasiswa Indonesia. Di tengah arus globalisasi dan perubahan sosial, sebagian mahasiswa memandang praktik ini sebagai bentuk kedekatan emosional, kebebasan pribadi, atau bahkan cara untuk mengenal pasangan lebih dalam sebelum melangkah ke jenjang yang lebih serius. Namun, di balik alasan yang tampak sederhana, tersimpan persoalan kompleks yang menyentuh aspek psikologis, sosial, dan moral.
Fenomena yang Mulai Terbuka:
Beberapa tahun terakhir, media sosial dan lingkungan kampus mulai memperlihatkan keterbukaan terhadap gaya hidup living together.
Sebagian mahasiswa menganggapnya hal wajar, apalagi bagi mereka yang tinggal jauh dari keluarga dan menghadapi tekanan ekonomi. Biaya sewa tempat tinggal yang tinggi dan kebutuhan hidup di kota besar sering kali menjadi alasan praktis di balik keputusan tersebut. Namun, alasan ekonomi sering kali hanya menjadi pembuka dari dinamika yang lebih dalam yaitu kebutuhan emosional akan keintiman dan kebersamaan.
Kematangan Emosional yang Masih Rentan :
Mahasiswa berada dalam fase perkembangan menuju kedewasaan, di mana identitas diri dan kestabilan emosional masih terus dibentuk. Dalam situasi ini, hubungan *living together* bisa menjadi ujian besar. Hubungan yang intens tanpa batas waktu dan ruang pribadi dapat menimbulkan kelelahan emosional, rasa cemburu berlebihan, hingga tekanan psikologis.
Beberapa penelitian psikologi perkembangan menunjukkan bahwa individu pada usia mahasiswa masih dalam tahap eksplorasi identitas diri (identity exploration). Ketika mereka terlibat dalam hubungan yang terlalu dalam secara emosional dan fisik, sering muncul konflik antara kebutuhan pribadi dan tuntutan pasangan. Akibatnya, hubungan justru bisa menimbulkan stres, kecemasan, bahkan menurunkan motivasi belajar.
Antara Kebebasan dan Tanggung Jawab :
Bagi sebagian mahasiswa, living together dianggap simbol kebebasan dan kedewasaan dalam mengambil keputusan sendiri. Namun, kebebasan tersebut sering kali tidak diimbangi dengan kesiapan mental untuk menanggung konsekuensinya. Konflik kecil dalam keseharian bisa berkembang menjadi pertengkaran besar karena tidak adanya batas peran dan tanggung jawab yang jelas antara pasangan.
Selain itu, tekanan sosial dari lingkungan sekitar juga tidak bisa diabaikan. Stigma negatif, rasa bersalah terhadap nilai-nilai keluarga, dan ketakutan akan penilaian masyarakat dapat memperburuk kondisi psikologis mahasiswa yang menjalaninya. Hal ini menciptakan beban ganda: di satu sisi ingin hidup bebas, di sisi lain merasa tertekan oleh norma sosial yang masih kuat.
Dampak terhadap Prestasi dan Kesehatan Mental :
Beberapa mahasiswa yang menjalani living together melaporkan kesulitan menjaga fokus pada studi. Konflik dalam hubungan sering kali mengganggu konsentrasi belajar, bahkan menurunkan produktivitas akademik. Selain itu, rasa cemas, overthinking, dan ketergantungan emosional terhadap pasangan dapat menghambat pertumbuhan pribadi. Dalam jangka panjang, hal ini bisa berdampak pada kesehatan mental seperti stres kronis atau depresi ringan.
Membangun Kesadaran Diri dan Kesiapan Psikologis :
Fenomena living together tidak bisa semata-mata dinilai dari sisi moral atau legalitas saja. Ia juga perlu dipahami sebagai cerminan perubahan sosial dan pencarian jati diri generasi muda. Namun, penting bagi mahasiswa untuk menyadari bahwa setiap pilihan hidup memiliki konsekuensi emosional dan psikologis. Kematangan hubungan bukan hanya soal keberanian mengambil keputusan, tetapi juga kemampuan mengelola emosi, komunikasi, dan tanggung jawab bersama.
Lembaga pendidikan dan kampus juga memiliki peran dalam memberikan edukasi terkait kesehatan mental dan hubungan sehat. Bimbingan konseling yang terbuka, diskusi tentang relasi, dan ruang aman bagi mahasiswa untuk berbicara tanpa stigma bisa menjadi langkah preventif agar fenomena ini tidak menimbulkan dampak negatif yang lebih besar.
Penutup
Living together di kalangan mahasiswa memang dapat dilihat sebagai bagian dari perubahan zaman — sebuah fenomena baru yang muncul di tengah benturan antara nilai tradisional dan modernitas. Namun, di balik itu semua, kesiapan emosional dan kematangan psikologis menjadi kunci utama agar hubungan tidak berakhir dengan luka batin dan kehilangan arah hidup.
Kebebasan selalu datang bersama tanggung jawab. Dalam hal ini, kebebasan untuk memilih cara hidup harus diiringi dengan kesadaran penuh terhadap konsekuensi psikologis yang mungkin muncul. Sebab, bukan hanya cinta yang diuji, tetapi juga kedewasaan diri.