Indonesiasurya.com, Lembata - Penolakan atas penerbitan Hak Guna Usaha (HGU) untuk PT Krisrama kembali mencuat di Kabupaten Sikka, NTT. KOMISARIAT SOSIAL-HUKUM menyatakan, tanah eks HGU di Desa Nangahale dan Desa Runut hingga kini masih dalam sengketa dengan masyarakat adat.
Pemberian HGU itu tertuang dalam Surat Keputusan (SK) Nomor 1/HGU/BPN.53/VII/2023 yang diterbitkan Kantor Wilayah BPN Provinsi NTT pada 20 Juli 2023. KOMISARIAT SOSIAL-HUKUM menilai SK ini layaknya bangunan yang didirikan di atas pasir hisap rapuh dan cacat prosedur.
Sengketa Abadi yang Diabaikan
Menurut Wilfridus Iko, KETUA KOMISARIAT, penerbitan HGU seharusnya mensyaratkan tanah yang bersih dari sengketa dan tanpa keberatan dari pihak manapun. Namun, sejak 2015 hingga 2023, masyarakat adat Suku Soge Natar Mage dan Suku Goban Runut tak pernah berhenti menyuarakan penolakan. Puncaknya, aksi besar-besaran dilakukan saat tim BPN turun ke lapangan untuk verifikasi.
“Waktu identifikasi pun masyarakat masih melakukan perlawanan besar-besaran. Artinya, SK ini jelas tidak memenuhi syarat,” tutur Wilfridus dalam keterangan tertulisnya pada Senin, 15 September 2025.
Aroma Kebohongan dalam Dokumen
Ketua komisariat mencurigai adanya data palsu yang digunakan oleh PT Krisrama dalam permohonan HGU-nya. Dalam surat pernyataan, perusahaan menyebutkan bahwa tanah tersebut kosong dan tidak berpenghuni. Pernyataan ini seolah membalikkan fakta di lapangan.
“Faktanya, sudah ada ratusan keluarga yang tinggal dan menggarap tanah itu sejak tahun 2000 dan 2014. Pernyataan bahwa tidak ada penghuni jelas bohong,” tegas Wilfridus.
Keberatan masyarakat sebenarnya sudah tercatat berulang kali: 5 November 2015, 18 Januari 2022, 4 November 2022, hingga 20 Juli 2023. Namun, semua suara perlawanan itu seakan ditelan bumi.
Hukum Tumpul keatas dan tajam kebawa, Masyarakat Bertahan
Meskipun sertifikat HGU telah terbit, masyarakat adat memilih untuk tetap berdiri kokoh di atas tanah leluhur mereka. Komisariat mencatat setidaknya tiga kali upaya penggusuran yang diduga dilakukan oleh oknum yang berafiliasi dengan perusahaan pada 18 Desember 2023, 29 Juli 2024, dan 22 Januari 2025.
Ketiga insiden ini telah dilaporkan ke Polres Sikka. Namun, Wilfridus menyayangkan proses hukum yang berjalan lambat, bahkan cenderung jalan di tempat. “Masyarakat akhirnya lebih memilih bertahan di lapangan daripada berharap pada hukum yang tidak melindungi,” keluhnya.
Celah Perlindungan yang Terabaikan
Wilfridus juga menyoroti kejanggalan dalam SK HGU itu sendiri. Diktum ke-11 secara eksplisit menyebutkan bahwa masyarakat hukum adat yang telah mendiami wilayah tersebut selama lebih dari 10 tahun harus dikeluarkan (enclave) dari wilayah HGU. Selain itu, Diktum ke-10 memungkinkan pembatalan SK jika penerima hak tidak memenuhi syarat, dan Diktum ke-5 menegaskan bahwa kebenaran dokumen adalah tanggung jawab penuh penerima hak.
“Kalau PT Krisrama terbukti menyampaikan data palsu, seharusnya SK ini otomatis batal,” jelas Wilfridus. Ini adalah senjata hukum yang seharusnya bisa digunakan untuk membela masyarakat, namun nyatanya tidak.
Pemda Sikka, Antara Keadilan dan Kepentingan
Kritik tajam juga dilayangkan kepada Pemerintah Kabupaten Sikka. Alih-alih memfasilitasi dialog dan penyelesaian konflik, bupati justru mengeluarkan surat pengumuman yang meminta masyarakat untuk meninggalkan tanah yang diklaim milik perusahaan.
Padahal, dalam audiensi dengan Kementerian ATR/BPN, Kepala Subdirektorat Penanganan Konflik Kelompok Masyarakat dan Tanah Ulayat, Rocky Soenoko, sudah menegaskan adanya rencana pelepasan tanah eks HGU untuk masyarakat. “Mestinya bupati hadir di tengah masyarakat, menjelaskan tahapan pelepasan tanah, bukan malah berpihak ke perusahaan,” sindir Wilfridus.
Tuntutan Tegas dan Peringatan Keras
Bagi masyarakat adat Soge Natar Mage dan Goban Runut, tanah adalah darah dan napas kehidupan. “Tanah Amin, Moret Amin,” kata para kepala suku tanah adalah kehidupan, tanah adalah lambang kehidupan.
Atas dasar itulah, KOMISARIAT SOSIAL-HUKUM melayangkan empat tuntutan kepada pemerintah daerah:
1. Bupati Sikka harus segera menyatakan tanah eks HGU tersebut diserahkan kepada masyarakat.
2. Pemerintah daerah harus serius memproses pelepasan tanah untuk rakyat.
3. Setiap keputusan terkait tanah harus melibatkan masyarakat adat sebagai pemangku kepentingan.
4. Program Reforma Agraria (TORA) harus dijalankan secara penuh, tanpa terkecuali.
“Sebagai anak tanah, saya tidak akan diam kalau masyarakat terus dieksploitasi di atas tanah mereka sendiri. Kami akan terus menyuarakan kebenaran dan keadilan,” pungkas Wilfridus Iko, menyalakan api perlawanan yang takkan padam.
Hingga berita ini dipublikasikan, pihak PT Krisrama dan BPN NTT belum memberikan tanggapan.
Kami akan bersama petani di kabupaten sikka akan turun di 24 September 2025 di gedung DPRD dan Kantor Bupati sikka. Untuk menyampaikan aspirasi masyarakat kabupaten sikka, yg tidak merasakan keadilan dan tidak merasakan nasip yg sama dengan masyarakat di pulau jawa.
Banyak kendala yakni: kekurangan pupuk, ruang pertanian di rampas oleh negara dengan perluasan kawasan hutan, dan tidak ada perhatian khus ke petani di setiap desa di kabupaten sikka.
Kami jiga mengajak seluruh elemen masyarakat, mari kita satukan barisan untuk memperjuangkan hak hak petani