Lewoleba,Indonesiasurya.com - Jaga Alam, Jaga budaya seminar yang diinisiasi PT Perusahaan Listrik Negara [PT PLN] Persero, upaya mendapatkan dukungan untuk pelaksanaan proyek panas bumi/ Geothermal (9/8/2024) harus berpindah lokasi setelah angin kencang tiba-tiba merubuhkan tenda di lokasi kegiatan.
Berita terkait ; https://indonesiasurya.com/kawasan-panas-bumi-atadei-rawan-bencana-hengcoz-apapun-niat-baiknya-semoga-masyarakat-jangan-jadi-korban
Angin kencang dari berbagai arah tiba-tiba muncul pada pukul 08.25 Wita, saat Manager Pertanahan dan Sertifikasi PT PLN UIP Nusa Tenggara, Bobby Robson Sitorus memberi sambutan diawal kegiatan.
warga desa yang hadir berhamburan menyelamatkan diri ketika angin itu menumbangkan panggung utama, serta tenda, serta meluluhlantakan kursi, meja dan dua layar proyektor.
warga menyebut angin itu dengan sebutan angi gutun sebagai pertanda akan terjadi hal buruk atau peristiwa duka.
Berdiri di depan Kapel St. Konradus Beeker, dan pandang ke arah tenda yang roboh, agnes Wukak warga Watuwawer mengatakan angin kencang tiba-tiba dari segala penjuru ini bisa berarti akan ada berita buruk.
seperti dilansir dari Floresa.com, dijelaskan bahwa, tenda berada di halaman tengah kampung yang disebut warga sebagai muhuk breketen, tempat keramat.
Proyek itu hendak memanfaatkan potensi panas bumi di lokasi yang warga sebut sebagai dapur alam dan dijaga oleh Ina Kar.
Di tempat yang berjarak satu kilometer dari Kampung Watuwawer itu, setiap kali musim panen jagung mereka menggelar ritual syukuran, Ploe Kwar.
Warga desa mengatakan, seminar budaya itu kurang tepat dilakukan saat ini karena PT PLN sudah mulai melakukan pengeboran untuk eksplorasi geotermal pada 2004 dan 2006. dua kali pemboran itu dinyatakan gagal karena, tidak direstui Ina Kar.
Niko Lejap, warga Watuwawer lainnya mengatakan hal senada. Angin kencang itu, katanya, menunjukkan tanda-tanda leluhur tidak mengizinkan kegiatan pengeboran.
“Dari sudut pandang adat, kejadian itu semacam peringatan.”.
Selain angin kencang, ia mengklaim banyak warga Watuwawer yang akhir-akhir ini bermimpi buruk setelah ada rencana eksploitasi geotermal.
“Angin hari ini tanda ada kesalahan,” kata Niko.
Damianus Laba, pemuda Desa Atakore sepakat dengan Agnes bahwa kegiatan itu seharusnya sudah terjadi pada 2004 saat eksplorasi pertama. Lanjut Dami, angi gutun, adalah ungkapan kemarahan leluhur. .
Petrus Ata Tukan, salah satu pembicara menekankan bahwa ritual Ploe Kwar tidak dapat dipindahkan dari lokasi dapur alam.
“Ritual ini tidak bisa di tempat lain. Dia harus berada di tempatnya Ina Kar,” katanya.
Dalam ritual tersebut, katanya, masyarakat memberi persembahan hasil panen, sembari bersyukur, memohon restu dan meminta perlindungan untuk usaha selanjutnya.
Acara ini, katanya, dilakukan setiap tahun saat jagung sudah mulai bisa dipanen.
Ritual, katanya, dilakukan oleh anggota Suku Wawin di Desa Atakore dan Suku Puhun di Lewokoba.
Sementara tokoh budaya Yosep Beda Lein berkata, pentingnya warga bersatu hati dan pikiran terkait proyek geotermal, termasuk dalam hubungannya dengan adat istiadat.
Kalau tidak ada kesatuan pemahaman, kata dia, “pasti akan ada hambatan.”
Diakon Eusabius Purwarta Manehat, SVD, yang ikut menjadi salah satu pembicara seminar berkata, kehadiran proyek itu tidak boleh memecah bela warga sebagai komunitas umat gerejani.
“Masyarakat Atakore mesti mengedepankan asas mufakat dan tidak tercerai berai,” katanya.
Proyek geotermal Atadei menargetkan energi listrik dengan kapasitas 10 MW yang direncanakan mulai beroperasi pada 2027.
PT PLN telah mendapat izin prinsip dari Bupati Lembata, Eliaser Yentji Sunur pada 27 November 2020, di mana luas lahan yang menjadi lokasi proyek 31.200 hektare.***