Jakarta,Indonesiasurya.com - Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) melaporkan, sebanyak 32.064 buruh mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) sepanjang Januari hingga Juni 2024.
Baca juga ; https://indonesiasurya.com/aksi-spontan-warga-amagarapati-seruduk-rumah-dinas-kapolres-flotim
Berdasarkan Laporan Bulanan Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Kemenaker, jumlah tersebut naik sekitar 4.842 tenaga kerja dibandingkan Mei 2024 yang mencapai 27.222 orang.
Sementara itu, jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, angka tersebut naik dari 26.400 orang atau sekitar 21,45 persen.
Lantas, mana saja provinsi dengan PHK terbanyak?
Provinsi dengan PHK terbanyak hingga Juni 2024
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mendefinisikan PHK sebagai pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu, yang mengakibatkan berakhirnya hak serta kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha.
Tenaga kerja ter-PHK adalah tenaga kerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja dan dilaporkan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
Laporan tersebut dilakukan melalui Sistem Informasi dan Aplikasi Pelayanan Ketenagakerjaan dan/atau pengadilan hubungan industrial.
Kemenaker mencatat, tenaga kerja atau buruh yang dilaporkan ter-PHK paling banyak terdapat di Provinsi DKI Jakarta.
Kasus PHK di DKI Jakarta mencapai 23,29 persen dari jumlah keseluruhan kasus yang dilaporkan hingga Juni lalu.
Berikut perincian provinsi dengan PHK terbanyak periode Januari-Juni 2024, seperti dikutip laman Satu Data Kemenaker, Kamis (25/7/2024):
Baca juga ; https://indonesiasurya.com/kuasa-hukum-nusron-ledo-cs-ajukan-gugatan-praperadilan-terhadap-polres-lembata
DKI Jakarta: 7.469 tenaga kerja
Banten: 6.135 tenaga kerja
Jawa Barat: 5.155 tenaga kerja
Jawa Tengah: 4.275 tenaga kerja
Sulawesi Tengah: 1.812 tenaga kerja
Bangka Belitung: 1.527 tenaga kerja
Riau: 833 tenaga kerja
Jawa Timur: 819 tenaga kerja
Kalimantan Barat: 785 tenaga kerja
Sumatera Utara: 539 tenaga kerja
Sulawesi Tenggara: 348 tenaga kerja
Kepulauan Riau: 341 tenaga kerja
Sumatera Barat: 327 tenaga kerja
Kalimantan Tengah: 298 tenaga kerja
Daerah Istimewa Yogyakarta: 292 tenaga kerja
Kalimantan Selatan: 246 tenaga kerja
Sulawesi Selatan: 227 tenaga kerja
Aceh: 203 tenaga kerja
Kalimantan Timur: 109 tenaga kerja
Jambi: 100 tenaga kerja
Kalimantan Utara: 78 tenaga kerja
Maluku: 32 tenaga kerja
Sulawesi Utara: 27 tenaga kerja
Nusa Tenggara Timur : 27 tenaga kerja
Lampung: 23 tenaga kerja
Bali: 19 tenaga kerja
Gorontalo: 18 tenaga kerja.
PHK jalan terakhir, perusahaan harus penuhi hak buruh
Sebelumnya, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah mengatakan, sejumlah perusahaan tekstil tutup pada awal 2024 yang berdampak terhadap 13.800 pekerja ter-PHK.
Baca juga ; https://indonesiasurya.com/muhamin-iskandar-ketua-umum-pkb-bakal-calon-kepala-daerah-jangan-nekat-nekatan
Namun, Ida mengungkapkan, PHK biasanya adalah pilihan terakhir yang dilakukan perusahaan.
"Jika ada perusahaan yang akan melakukan PHK, tentu yang kami dorong adalah benar-benar PHK itu sebagai jalan terakhir," kata Ida, dilansir dari Kompas.com, Kamis (13/6/2024).
Dia menyampaikan, pihaknya mendorong perusahaan mengedepankan dialog sebelum akhirnya terpaksa melakukan PHK.
Jika terpaksa mengambil jalan PHK, perusahaan wajib memberikan hak-hak pekerja sesuai aturan yang berlaku.
"Jika terpaksa harus dilakukan PHK, maka kita minta dipastikan hak-hak pekerja diberikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan," ujarnya.
Penyebab PHK massal, mesin tua dan biaya operasional tinggi
Terpisah, Menteri Investasi atau Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengakui, belakangan telah terjadi pemangkasan tenaga kerja secara masif di industri padat karya, utamanya yang berada di wilayah Jawa Barat.
Pemangkasan itu tidak terlepas dari berhenti beroperasinya pabrik di Jawa Barat, yang memang tidak lagi beroperasi atau mengalami relokasi.
"Masalahnya ada dua, mesinnya sudah tua, yang kedua biaya ekonominya sudah tinggi dibandingkan negara-negara lain," kata dia, disadur dari Kompas.com, Senin (29/7/2024).
Menurut Bahlil, tingginya biaya operasional pabrik juga berkaitan dengan produktivitas buruh, sehingga pada akhirnya membuat perusahaan melakukan efisiensi dengan PHK.
Oleh karenanya, dia menyebut, harus terdapat equilibrium antara kebutuhan pelaku usaha dengan tingkat produktivitas buruh untuk menciptakan keberlanjutan operasional pabrik.
"Kalau ini tutup yang rugi kita semua. Lapangan pekerjaan tutup, industrinya tidak jalan, pendapatan negara berkurang," ungkapnya.
Namun demikian, pemerintah terus berupaya untuk membuka lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat melalui investasi yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam maupun luar negeri. sumber; onlineindo.tv