Kupang – Upaya serius Pemerintah Kota (Pemkot) Kupang untuk mengatasi persoalan sampah di ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) masih menghadapi tantangan berat.
Komitmen Pemkot yang tertuang dalam berbagai program dan roadmap terganjal oleh dua isu krusial yang saling berkelindan: ketidakdisiplinan sebagian warga dalam membuang sampah serta keterbatasan sarana dan prasarana yang dimiliki oleh dinas terkait.
Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kota Kupang berupaya keras mengelola volume sampah harian yang mencapai ratusan ton.
Berbagai rencana strategis telah disiapkan, termasuk rencana penyediaan tong sampah di setiap RT, kontainer di tingkat kelurahan, hingga wacana pembangunan Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) di tingkat kecamatan.
Rencana ini bertujuan untuk mengolah sampah organik menjadi pupuk atau maggot dan anorganik menjadi bahan baku lain, sekaligus meninggalkan paradigma lama kumpul-angkut-buang.
Namun, upaya ini terbentur masalah klasik, yakni keterbatasan fasilitas.
Data menunjukkan bahwa jumlah armada truk pengangkut sampah yang beroperasi tidak memadai, dengan banyak unit yang mengalami kerusakan.
"Kami masih kekurangan fasilitas penunjang, terutama untuk menjangkau pemukiman padat dan gang-gang sempit," ujar seorang petugas pengangkutan sampah.
Kekurangan sarana seperti motor atau gerobak pengangkut ini menyebabkan penumpukan sampah di sejumlah Tempat Penampungan Sementara (TPS) yang jauh dari jangkauan truk, mengakibatkan sampah meluap dan menimbulkan bau tidak sedap.
Selain itu, tenaga lapangan seperti penyapu dan awak angkut juga dinilai masih kurang optimal jumlahnya jika dibandingkan dengan luas wilayah kerja dan besarnya volume sampah yang harus ditangani.
Faktor penghambat kedua dan yang paling dominan adalah rendahnya tingkat kedisiplinan dan kesadaran masyarakat.
Meskipun Perda Nomor 3 Tahun 2022 telah mengatur tentang pengelolaan sampah, penegakan aturan di lapangan masih lemah.
Banyak warga yang masih membuang sampah tidak pada waktu dan tempatnya. Sampah rumah tangga, ranting pohon, dan dedaunan seringkali dibuang di bahu jalan atau tempat umum, memicu pemandangan kumuh dan bau busuk yang dikeluhkan pengguna jalan.
"Perda itu seharusnya menjadi alat penertiban, tapi selama sanksi tegas tidak diterapkan, Perda itu seolah 'tidak bernyali'," kritik seorang akademisi lokal.
Kurangnya partisipasi masyarakat dalam program pemilahan sampah di rumah tangga dan bank sampah juga memperburuk kondisi di TPA. Sosialisasi dari dinas terkait kepada masyarakat dan pelaku usaha mengenai cara pengelolaan sampah yang benar juga diakui belum maksimal, menjadikan kesadaran lingkungan sebagai pekerjaan rumah besar bagi Pemkot.
Untuk mengatasi dualisme masalah ini, diperlukan sinergi total. Pemkot didesak untuk memprioritaskan anggaran guna perbaikan dan penambahan armada yang rusak serta percepatan pembangunan fasilitas daur ulang seperti TPST.
Selain itu, Pemkot didorong untuk segera menerapkan sanksi tegas bagi para pelanggar Perda. Di sisi masyarakat, RT/RW perlu diaktifkan sebagai ujung tombak pengelolaan sampah berbasis komunitas untuk menumbuhkan rasa kepemilikan dan kedisiplinan kolektif. Kota yang bersih adalah tanggung jawab bersama, di mana komitmen Pemkot harus diimbangi dengan kedisiplinan warganya.